Himpunan Mahasiswa Sastra Jepang (Himaspa) Unhas menggelar Kuliah Umum bertajuk “Olimpiade Tokyo 1964 Sebagai Momentum Perubahan Masyarakat Jepang” melalui Zoom Meeting, Sabtu (7/8). Dipandu oleh Dosen Sastra Jepang Unhas, Rudi Yusuf, kegiatan ini menghadirkan Susy Ong Ph D, penulis Seikatsu Kaizen dan Shakai Kaizo, sebagai pembicara.
Berhubungan dengan euforia Olimpiade Tokyo 2021, kegiatan itu juga mengulik momentum perubahan yang terjadi di negeri sakura melalui Olimpiade Tokyo 1964 sebelumnya. “Nyatanya, olimpiade adalah lampu, panggung menuju keluar menjadi anggota masyarakat internasional. Inilah alat untuk merubah masyarakat dan berbagai hal lainnya,” tutur Rudi mengawali acara.
Pada kesempatannya, Susy menambahkan, pergesaran perilaku suatu kelompok atau individu membuktikan adanya perbedaan antara dulu dan sekarang. “Momentum olimpiade bisa mengubah manusia dari kurang disiplin hingga disiplin,” papar Susy.
Menurutnya, sebelum olimpiade berlangsung, Jepang termasuk negara kotor dan semrawut, infrastruktur kurang bagus, dan sampah berserakan di mana-mana. Mereka juga terkenal yamato jikkang atau ‘ngaret’ dalam istilah Indonesia.
“Namanya kebiasaan itu dahsyat. Sekali terbiasa akan dianggap lumrah,” ujar Susy.
Namun, menjelang penyelenggaran Olimpiade 1964, pemerintah Jepang mengembangkan gerakan untuk memperindah ibu kota. Caranya dengan menggerakkan semua lapisan masyarakat, terutama ibu rumah tangga untuk menyebar relawan-relawan di seluruh penjuru Kota Tokyo.
Selain itu, pemerintah turut bekerja sama dengan media massa guna menyebar poster-poster berbunyi Sutezu, kowazasu, chirakasazu dan kudowo wo utsukushikusuru undo yang berarti tidak membuat sampah tercecer, tidak merusak, tidak membuang sampah tercecer, serta memperlihatkan keindahan Jepang pada dunia.
Adapun masyarakat yang mendukung himbauan pemerintah tersebut turut menyelenggarakan kampanye berjudul “Keberhasilan Penyelenggaraan Olimpiade adalah Tanggung Jawab”. Karena keberhasilan program, kini Jepang lekat sebagai negara yang disiplin dan menjunjung tinggi kebersiahan.
“Sayangnya, dibalik gerakan besar-besaran tersebut, sejumlah tuna wisma di Jepang terusir dan tidak diizinkan untuk menunjukkan diri sampai olimpiade berakhir,” tutup Susy.
Oktafialni Rumengan