“Apakah kau bahagia?,” tanya salah seorang senior kepada anaknya.
“Ya, bahagia selamanyaaaa,” jawab si anak dengan mata yang berbinar sambil memainkan mobil Lightning McQueen-nya.
Lalu apakah saya bahagia? Seringkali pertanyaan itu kuutarakan pada diri. Apalagi sekarang ini, status sebagai mahasiswa semester akhir yang belum juga menuntaskah kuliah, kadang membebani pikiran. Begitu banyak tanda tanya yang mengganggu.
Bagaimana selanjutnya setelah lulus? Bagaimana nanti di dunia kerja? Bagaimana menghadapi semua hal yang jamak terlihat tidak sesuai dengan harapan? Tak ada habisnya kungkungan pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul pada kehidupan yang kita jalani. Hingga mungkin kita sudah lupa apakah kita bahagia.
Ah, sudah saatnya untuk tak membebani diri dengan kalimat yang diakhiri tanda tanya. Mari menjawab pertanyaan itu dengan menciptakan kebahagiaan dari hal-hal sederhana. Bahagia yang menumbuhkan kepuasan, hidup yang simpel dan lebih bermakna.
Beberapa waktu lalu, sekelebat kata hygge (baca: hyu-gah) di media sosial menarik perhatian saya. Setelah saya telusuri, ‘hygge’ adalah salah satu bagian sentral dalam konsep kebahagiaan masyarakat Denmark. Negara dengan penduduk paling bahagia di dunia.
Rasanya cukup sukar untuk mengalihbahasakan hygge dalam satu kata maupun kalimat. Hygge menyiratkan sebuah perasaan atau suasana, yang diperoleh dari kesenangan dan kenyamanan dalam melakukan hal-hal sederhana, yang bisa membuat momen-momen keseharian menjadi lebih membahagiakan dan berarti.
Bentuk hygge bermacam-macam. Entah itu saat bergelung dalam selimut hangat di hari yang hujan. Ataukah momen berkumpul dengan keluarga, memasak dan menikmati makanan bersama. Bisa juga timbul dari kehangatan saat menyesap secangkir kopi favorit. Tak harus bergengsi, tak harus mahal. Makin sederhana, makin berfaedah. Intinya, hygge ingin membawa semangat positif untuk hidup dalam kesederhanaan dan kerendahan hati, hidup dalam kebersamaan dan indahnya berbagi, serta hidup dengan penuh rasa syukur.
Nah, sudah barang tentu kebahagiaan adalah hasil dari kehidupan personal, sosial, dan bernegara. Lantas, bagaimana indeks kebahagiaan di negara kita? Itu dijelaskan dalam sebuah laporan berjudul World Happiness Report 2017 yang diterbitkan pada 20 Maret lalu oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ulasan itu memuat bagaimana “kebahagiaan subjektif” diukur, seberapa bahagia orang-orang yang tinggal di sebuah negara dan alasannya. Parameter lain yang dipertimbangkan, berupa tingkat kepedulian, kebebasan, kedermawanan, kejujuran, kesehatan, pendapatan, dan tata kelola pemerintahan di suatu negara.
Dalam laporan itu, Indonesia berada pada peringkat ke-81 dari 155 negara yang disurvei. Data itu menunjukkan indeks kebahagiaan di negara ini masih rendah. Kebahagiaan rakyat sebagai tujuan kebijakan publik dalam pemerintahan belum tercapai. Fakta kita belum bertambah bahagia juga merujuk laporan tahun lalu. Republik ini berada pada peringkat ke-79 dari 157 negara. Ya, sudah semestinya fokus negara pada pertumbuhan ekonomi beriringan dengan upaya memperbaiki krisis multi dimensi. Mulai dari menajamnya ketimpangan, korupsi, isolasi dan hilangnya kepercayaan.
Konsep hygge, cukup menarik untuk kita tilik dan praktikkan. Jika satu orang dapat menyebarkan semangat positif ini. Mungkin saja, kebahagiaan dapat dirasakan oleh semua orang dan dapat menuntun ke kehidupan yang lebih bermakna. Posisi bangsa Indonesia dalam indeks kebahagiaan masih jauh tertinggal. Sementara tujuan akhir yang diharapkan, semua orang bisa bahagia, bukan?
Ya, seperti kata Albert Camus, kita tidak akan pernah bahagia jika terus mencari kebahagiaan itu seperti apa. Kesimpulannya, kebahagiaan itu hanya perlu dijalani, dengan sederhana dan mengalir. Akhir kalimat, jangan lupa bahagia!
Oleh: Riyami
Penulis adalah Koordinator Liputan P.K. identitas 2017
Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah Unhas Angkatan 2013