Budidaya ikan laut adalah alternatif sistem untuk mengembangbiakkan spesies ikan laut di tempat pemeliharaan khusus. Indonesia sendiri memiliki luas laut 6,8 juta km2, dengan potensi perikanan sebesar 67 ton/tahun.
Namun, hanya terdapat 9,3 ton/ tahun yang merupakan hasil potensi laut. Dilansir dari Kementrian Perikanan, kontribusi hasil laut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2020 hanya sebesar 2,80%, naik sebesar 0,15% dari tahun 2019, namun, angka ini termasuk kecil jika dibandingkan jumlah kenaikan tahun 2017 – 2019 yang selalu tumbuh di atas 5 persen. Padahal ikan termasuk konsumsi terbesar di dunia.
Sayangnya, di Indonesia sendiri proses pembudidayaan terhadap ikan masih kurang jika dibandingkan dengan perikanan tangkap. Selain itu, resiko penyakit juga terbilang tinggi karena pengaruh lokasi budidaya yang cenderung lebih sempit meningkatkan resiko ikan mudah stress dan akhirnya memicu infeksi patogan maupun bakteri.
Oleh karena itu, Mahasiswa S3 Universitas Hasanuddin, program studi perikanan tahun 2022, Sufardin, mengembangkan observasi terhadap hama yang sering menyerang ikan laut budidaya, seperti identifikasi patogen, bakteri dan virus. Apalagi melihat satu dekade terakhir para peneliti hanya berfokus pada infeksi tunggal tanpa mempertimbangkan koinfeksi, sehingga interaksi dua patogen yang berbeda mungkin terdapat dalam satu inang terabaikan.
Pada wawancara yang dilakukan bersama Kru Identitas, Oktafialni Rumengan pada Rabu, (13/4), Sufardin mengungkapkan berupaya untuk mengindentifikasi penyakit dan dampak yang ditimbulkan dari penyakit tersebut. Terutama meyangkut penurunan bobot tubuh ikan, bentuk abnormal, serta selera konsumen, yang berpotensi mempengaruhi daya ekonomisnya. Ikan yang ia teliti meliputi tiga jenis, ikan kakap putih, ikan kerapu dan ikan badut.
Selain menggunakan tiga jenis ikan yang berbeda, Sufardin juga mengambil sampel dari tiga lokasi yang berbeda, yakni Takalar, Gondol, dan Situbondo. Identitifikasi parasit baik ektoparasit maupun endoparasite dilakukan melalui metode preparat ulas, yakni pengerokan pada bagian- bagian ikan, seperti sirip, ekor, usus, dan lambung. Bedah halnya dengan bakteri, dilakukan dengan motode gores pada media TPA dan pemurnian agar darah. Sedangkan identifikasi virus Iridoviridae menerapkan instrument Vitek-2 compact system.
Untuk menyelesaikan studi ini, dibutuhkan waktu selama tiga tahun, “kalau proses pemilihan ikannya tidak lama, hanya saja penelitiannya memerlukan waktu sekitar tiga tahun,” ujarnya.
Ditemukan hasil yang sama yakni terdapat infeksi jenis pathogen Gyrodactylus dan Trichodina pada ikan dari Takalar, Gondel, dan Situbondo yang lebih banyak menyerang sirip ekor. Sedang, tingkat infeksi bakteri tertinggi berasal dari Situbondo, dengan lima bakteri berbeda menyerang tubuh ikan. Untungnya tidak ditemukan infeksi virus Irivoridae pada kasus ini.
Pada umumnya, kedua ektoparasit Gyrodactylus dan Trichodina menyebabkan luka dan gatal gatal pada kulit ikan, namuan, keduanya sangat berbahaya pada ikan dan mempengaruhi kelangsungan hidup ikan. Belum lagi, infeksi bakteri A. caviae yang paling mematikan dibandingkan bakteri uji lainnya.
Menurut Pria Kelahiran 27 November 1993 ini, ada beberapa hal yang kemungkinan besar jadi pemicu infeksi. Pertama, ukuran penampungan yang terbatas dibanding di alam liar sehingga ikan lebih mudah stress. Kedua, kondisi air atau lingkungan budidaya yang kotor sehingga menjadi tempat berkembang parasit dan bakteri. “ Faktor lain inangnya, dan patogen itu sendiri, ada juga faktor genetik atau faktor bawaan, yang ditularkan melalui DNA ibu ke anak anaknya,” paparnya.
Koinfeksi yang menyerang ikan sangatlah berpengaruh pada kelangsungan budidaya ikan. Jika terus dibiarkan, bukan tak mungkin parasit dan bakteri tersebut dapat menjadi boomerang terhadap industri perikanan seperti penurunan nilai ekonomisnya.
Penularan terhadap manusia pun bukan tidak mungkin terjadi, sehingga perlu diolah dengan baik. Untuk itu, kedepannya Sufardin masih berupaya mengembangkan penelitian tersebut, “Sebenarnya akan lebih ke pengobatan dan pengendalian penyakit akibat patogen. Karena kalau berbeda jenis patogennya pasti berbeda juga jenis penanganannya,” ujarnya.
Walaupun menemui banyak kendala seperti terkadang sampel kurang, sehingga perlu menguji kembali, ia tetap optimis untuk mengembangkan penelitian tersebut. “Kebetulan penelitian ini pertama dilakukan, dan pertama kali untuk saya lakukan pada beberapa jenis ikan, sehingga masih banyak jenis ikan yang butuh riset serupa, sehingga jika berumur panjang saya ingin melanjutkan riset ke komoditas ikan jenis yang lain,” harapnya.
Oktafialni Rumengan