”Kita berbuat baik bukan sebab kita baik, tetapi karena kita benar.”
Suara deru ombak yang kejar-kejaran di bibir pantai dan bau amis rumput lautnya yang begitu menyengat sudah sangat lekat bagi pria ini, dirinya telah lama aktif berjuang pada isu lingkungan serta kesejahteraan masyarakat tersebut.
Lelaki ini telah sudah setahun berada di Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menuntaskan salah satu misi yang diembannya, yakni mengedukasi para nelayan dan petani rumput laut.
Lelaki itu bernama Idham Malik. Lulusan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Hasanuddin (Unhas) ini mulai tertarik dengan hal yang berbau lingkungan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) lewat organisasi kepramukaan, sehingga membuatnya peka dan merasa ingin tahu lebih banyak soal lingkungan.
Minatnya pada isu lingkungan semakin tinggi, ketika dirinya mengenyam studi di Departemen Perikanan, tempat Idham berkenalan dengan berbagai masalah yang melingkupi alam Indonesia, seperti isu pengeboman dan pembiusan ikan, pembakaran hutan, serta penebangan kayu ilegal.
Semasa kuliah, Alumni angkatan 2004 ini dikenal aktif beberapa organisasi seperti di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FIKP dan Penerbitan Kampus (PK) identitas. Sebab aktif di organisasi, Idham jarang masuk kelas dan nilainya sempat anjlok.
Di identitas kiprahnya yang baik menjadikannya redaktur pelaksana atau pimpinan redaksi pada masa semester tua 2008. ”identitas adalah salah satu organisasi yang membentuk prinsip dan kebiasaan hidup saya. Hal itulah yang masih saya bawa hingga sekarang,” tuturnya, Selasa (12/09).
Menghabiskan enam tahun berkuliah, Idham berhasil lulus. Tak lama, dirinya langsung direkrut oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berfokus pada isu kehutanan, yaitu Sulawesi Community Foundation (SCF).
Walau tak sejalan dengan latar belakang pendidikannya, dirinya menjadikan SCF sebagai tempat belajar dalam memahami dinamika dan peran LSM terhadap masyarakat. Ia juga belajar bergerak menuntaskan problematika perhutanan nasional.
Sebagai anak baru yang gabung di LSM, Idham kerap kali dikirim untuk mengikuti pelatihan mengenai lingkungan di berbagai tempat di Indonesia, dari pengalamannya itulah, ia bisa bertemu dan berdiskusi dengan banyak aktivis lingkungan.
Selain itu, ia juga sering diajak oleh seniornya dalam penelitian hutan desa dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya lewat hutan. ”Saya pernah ikut serta meneliti masyarakat terpencil yang mengelola hutan rimba di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah,” ucap pendiri Garda Mangrove.
Pada Mei 2013, ia memilih untuk keluar dari SCF, lalu bergabung di organisasi non-pemerintah internasional yang menangani masalah konservasi, penelitian, dan restorasi lingkungan, yakni World Wide Fund For Nature (WWF). Di situ Idham masuk sebagai staf akuakultur yang baru saja dibentuk oleh WWF.
Sesuai dengan keahliannya, ia bersama timnya berusaha untuk membangun akuakultur di Sulawesi Selatan (Sulsel) agar lebih produktif. Idham mengunjungi setiap kabupaten yang ada di Sulsel untuk meneliti bagaimana kebijakan dan program di masing-masing kabupaten.
Ketertarikannya dengan isu lingkungan membuatnya selalu berkontribusi lebih. Ia membantu menyusun panduan dan pelatihan budidaya perairan yang baik bagi para masyarakat. Tak hanya memberikan pelatihan, Idham juga membangun sekolah tambak di Pinrang dan Takalar.
”Selama enam bulan kami membuat baseline dan panduan, misalnya panduan budidaya udang, bandeng, maupun rumput laut yang baik. Saya terinspirasi untuk membuat sekolah tambak,” jelasnya.
Seolah tak puas, pegiat lingkungan itu berupaya merestorasi alam dengan membuat kegiatan penanaman 200 bibit mangrove pada 2017 silam di Pinrang. Momen itulah yang akhirnya membuat salah satu perusahaan Jepang tertarik untuk mendonorkan dana selama empat tahun.
Co-Founder Mangrove Brotherhood tersebut berhasil menanam 200 ribu bibit mangrove di berbagai daerah di Sulawesi dengan melibatkan seribu orang dalam satu hari untuk menanam mangrove di sepuluh kabupaten yang berbeda secara serentak.
Pria yang gemar membaca itu bukan cuma menyuarakan isu lingkungan lewat LSM saja, ia juga menulis lima buku yang berisi refleksi dari pengalaman-pengalamannya bertemu dengan petambak dan nelayan.
Idham telah berhasil mempublikasikan bukunya antaranya Air Mati Perikanan, Gerundelan peristiwa (bagian satu dan dua), Perikanan atau Perikiri?, serta Jelajah Kisah Perhutanan Sosial.
”Buku yang paling berkesan ketika menggarapnya itu Perikanan atau Perikiri, karena berisi perenungan saya tentang aspek antropologis para petambak,” ucap penggemar aktivis sosial India termasyhur Mahatma Gandhi itu.
Jatuh cinta dengan lingkungan membuat Idham hingga saat ini masih terus semangat untuk memberi pengajaran bagi masyarakat di tengah kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggapnya kurang pro terhadap lingkungan, dirinya berharap dapat berdampak lebih luas bagi masyarakat dan lingkungan.