Detik-detik menjelang pengumuman Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) membuat tangan Mita begitu dingin, juga jantungnya tak lagi berdetak dengan normal. Bukan tanpa sebab, keinginannya untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terbesar dan paling masyhur di Indonesia Timur, Universitas Hasanuddin (Unhas) telah ia dambakan sejak dahulu.
Tepat pukul 17.00 Wita pada Selasa (28/03), perempuan asal Soppeng itu memberanikan diri membuka hasil pengumuman pada website yang telah disediakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek). Bukan kepalang girangnya Mita ketika mendapati dirinya lulus pada Program studi (Prodi) Teknik Lingkungan di Unhas.
Mita kemudian melengkapi data sebagai syarat registrasi ulang, dalam hal ini surat keterangan penghasilan orang tua, besaran tagihan listrik, serta foto di beberapa sudut rumah. Hasilnya, Mita mendapatkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) golongan III, yakni sebesar dua juta rupiah.
Kesenangan itu buyar seketika, mengingat orang tuanya hanyalah seorang wiraswasta yang penghasilannya tak menentu. Menurutnya, beban yang dikenakan itu sangat berat sehingga ia kesulitan mencari dana dan terlambat dalam membayar UKT.
“Saya mengisi pendapatan orang tua itu dua juta dengan tanggungan tiga orang, tetapi kok bisa mendapat UKT yang sangat memberatkan orang tua saya,” tuturnya saat diwawancara melalui telepon, Kamis (15/06).
Senada dengan Mita, Calon Mahasiswa Baru (Camaba) yang lolos di Fakultas Farmasi, Rini (bukan nama sebenarnya) juga menilai bahwa biaya UKT yang dikenakan padanya sebesar tujuh juta rupiah terlalu berat. Walaupun ibunya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan pendapatan lima juta per bulan dan ayahnya adalah seorang pegawai honorer dengan pendapatan tak menentu, namun kedua saudaranya juga duduk dibangku kuliah.
Ia juga mengaku, sudah menghubungi Wakil Dekan Bidang Perencanaan, Keuangan, dan Sumber Daya (WD II) Fakultas Farmasi. Namun, upayanya ditolak dengan alasan UKT yang dibebankan sudah sesuai dengan data yang telah diverifikasi.
“Saya sudah mengadu ke WD dua Farmasi, namun sayangnya tidak mampu mengubah keputusan yang telah ditetapkan,” ujar Camaba yang berasal dari Kepulauan Selayar itu, Rabu (21/06).
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan (WR 1), Prof drg Muhammad Ruslin MKes PhD SpBM(K) mengatakan bahwa pihak universitas tidak mengetahui kejadian tersebut karena tidak adanya laporan atau banding dari calon mahasiswa yang bersangkutan.
“Harusnya ia datang ke Unhas untuk melakukan banding atau mengomunikasikan ke kami,” jelasnya, Kamis (22/06).
Namun tak bisa dipungkiri, kurangnya akses informasi yang didapatkan para Camaba untuk melakukan banding memunculkan kebingungan baru bagi mereka yang belum paham soal seluk beluk birokrasi kampus. Sehubungan dengan itu, WR 1 mengaku tidak menginformasikan hal tersebut secara terbuka, namun tetap melakukan pengecekan kembali terkait validitas data yang telah dilengkapi Camaba.
“Kita memang tidak buatkan tulisan (pemberitahuan tertulis), tetapi kan kita juga bisa mempertimbangkan kembali, dalam artian mempertimbangkan kembali hasil verifikasi,” ujarnya saat ditemui di ruangan Direktur Universitas.
Pada kesempatan tersebut, ia membantah soal desas-desus mengenai 90 Camaba yang tak lanjut kuliah di Unhas akibat kesulitan dalam membayar UKT.
“Itu tidak benar, memang kemarin kami menemukan ada 80-an Camaba yang bermasalah saat mengunggah berkas. Setelah diverifikasi ulang, kami menemukan lima Camaba yang memanipulasi datanya,” terang Ruslin.
Sejauh ini dalam menentukan biaya UKT, Unhas masih berpegang teguh pada data yang diunggah mahasiswa saat proses registrasi, seperti surat keterangan penghasilan orang tua, tanggungan listrik, foto rumah, serta mengisi berkas formulir.
“Tim kami akan memverifikasi data tersebut, kemudian dicek lagi oleh tim pusat untuk kebenarannya sebelum dikeluarkan bahwa mahasiswa ini membayar UKT sekian jumlahnya,” pungkas Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Pengembangan, dan Keuangan Prof Subehan SSi MPharmSc PhD Apt, Senin (03/07).
Tahap wawancara sebagai wadah negosiasi
Jika melihat berita identitas pada 2018, salah satu pertimbangan Unhas dalam menentukan biaya UKT yaitu wawancara dan survei langsung ke lapangan. Kedua proses itu lalu dihilangkan saat pandemi menerpa Indonesia pada 2020. Tetapi, setelah mereda dan terlepas dari masa pandemi, Unhas masih tidak menerapkan tahapan tersebut.
Tahap wawancara menjadi proses yang ditunggu para Camaba, tahapan yang dapat sebagai wadah untuk menyampaikan keluhan terhadap biaya UKT yang diberikan sebelumnya. Hal tersebut pula, dapat meminimalisir kejadian seperti yang dialami Mita dan Rini, sebab pastinya bagi mereka yang merasa tidak sesuai akan terwadahi dengan proses wawancara ini.
Seperti salah satu Alumni Prodi Geofisika Unhas Angkatan 2018, Andi Muh Yusuf Abdullah yang merasa sangat terbantu dengan adanya wawancara. Ia menyebut, jika UKT yang dibebankan berada di golongan lima, namun setelah melakukan negosiasi pada tahapan wawancara, ia akhirnya mendapat keringanan UKT menjadi golongan satu.
“Setelah ngotot saat wawancara, akhirnya UKT saya berada di golongan satu,” ungkapnya saat lewat pesan singkat WhatsApp, Senin (10/07).
Beberapa mahasiswa dari angkatan 2019, angkatan terakhir yang melalui proses tersebut ditanya terkait seberapa penting tahap wawancara dan survei lapangan, mereka serempak mengiyakan jika kedua tahapan harus kembali diberlakukan sebab lebih kredibel dan terbuka.
“Penting untuk mencocokkan berkas-berkas sebelumnya dengan keadaan Camaba sesungguhnya,” ucap AF, mahasiswa Fakultas Pertanian angkatan 2019, Rabu (21/06).
Di sisi lain, Prof Ruslin mengatakan, tahap wawancara bagi Camaba yang lulus pada jalur SNBP dan Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) tidak efisien. Menurutnya, Camaba bukan hanya berdomisili di Sulawesi Selatan sehingga menyulitkan mereka untuk mengikuti wawancara dengan waktu registrasi yang relatif singkat, serta UKT yang dikenakan juga masih tergolong rendah.
Berbeda dengan mahasiswa yang mengikuti jalur mandiri, sesuai dengan permintaan beberapa pihak fakultas, Unhas kemungkinan akan melakukan tahap wawancara sebab pembayaran UKT yang tergolong lebih mahal.
“Kami sebenarnya masih berpikir (mempertimbangkan) kalau ada yang minta (wawancara), misalnya kayak kelas internasional Fakultas Kedokteran Gigi karena pembayarannya lebih mahal,” jelasnya.
Walaupun pada akhirnya tahap wawancara tidak lagi digunakan Unhas pada penerimaan jalur SNBP dan SNBT, nyatanya dalam beberapa kasus, tahap wawancara dapat mempengaruhi mahasiswa yang keberatan dari UKT yang sebelumnya telah ditetapkan. Unhas seharusnya menyediakan wadah secara terbuka bagi semua kelompok masyarakat agar setiap orang memiliki kesempatan dalam pendidikan tinggi.
AGIF, ANL, ODT