Sepanjang lorong yang gelap itu, ia berjalan sendirian. Ia berjalan gontai menyusuri wilayah padat penduduk di kota besar, yang katanya segala hal bisa didapatkan di sana. Lelaki yang sudah lupa bagaimana menyebut namanya itu merenungi nasibnya. Ia telah kehilangan semuanya, baik harta maupun keluarga.
“Masih adakah masa depan untukku?” tanyanya pada diri sendiri.
Pertanyaan yang cukup berat bagi seseorang yang usianya belum menginjak kepala dua. Ia berasal dari keluarga kelas menengah, hidup dengan menggantungkan diri dari upah orang tuanya. Namun keadaan itu tiba-tiba saja direnggut darinya, ayahnya hilang tanpa sebab dan ibunya ditemukan mati mengenaskan.
Beberapa waktu lalu, kedua orang tuanya ikut menginisiasi sebuah gerakan untuk meminta keadilan bagi pekerja yang dibayar rendah oleh pengusaha korup, dimana pengusaha tersebut sangat dekat dengan penguasa. Akibatnya, terjadi beberapa teror kepada mereka, sebelum akhirnya peristiwa tragis itu menimpanya.
Sebenarnya ia tidak hidup sendiri, ia masih punya saudara laki-laki. Tetapi, kabar tak mengenakkan datang bersamaan dengan lantunan azan salat duhur siang tadi. Kakaknya yang dikenal lantang mengkritik pemerintahan itu ditembak saat melakukan demonstrasi di depan Kantor para legislator. Jelas di ingatannya, kakaknya pagi tadi berpesan bahwa ia akan pulang usai menuntut reformasi. Lengkap sudah kepahitan yang dialami keluarganya, mulai dari penculikan, pembunuhan, dan penembakan.
Pada akhirnya, pemegang modal (kapital) menekan pekerja sedangkan pemerintah tertidur lelap bahkan membantu penindasan itu, lebih parah dari sebuah anekdot demokrasi.
Setelah berpikir panjang, lelaki itu mencari informasi tentang keluarga lain yang senasib dengannya. Ia ingin mengajak mereka untuk mencari keadilan pada negara atas hak-hak asasi yang telah diambil, lalu menginisiasi aksi untuk menuntut pemenuhan hak-hak tersebut.
Itulah seorang tokoh yang terlintas dalam pikiran saya ketika berusaha menggambarkan peristiwa kelam masa lalu. Membayangkan bagaimana beberapa kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi bertahun-tahun lalu, masih dirasakan keluarga korban tanpa adanya proses hukum sama sekali.
Memang benar, negara melalui pernyataan Presiden Ketujuh Republik Indonesia, Joko Widodo melakukan langkah penyelesaian HAM non-yudisial, tetapi besar harapan keluarga untuk dilakukan pengusutan terhadap pelaku secara hukum demi mencegah berulangnya peristiwa yang sama.
HAM adalah tanggung jawab negara. Negara wajib untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak itu, termasuk mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun tanpa pandang bulu.
Hingga hari ini, Keluarga korban masih terus menuntut keadilan kepada negara. Aksi diam di seberang Istana yang diadakan tiap hari kamis sambil mengenakan pakaian dan payung hitam, menjadi simbol perlawanan dalam menolak lupa para korban.
Sudah 17 tahun usaha itu dilakukan, bahkan dalam peringatannya tertulis ‘Orang silih berganti, aksi kamisan tetap berdiri’. Masyarakat tidak akan lupa pelanggaran itu atau setidaknya keluarga korban tidak lupa pernah terjadi suatu hal yang melanggar hak-hak dasar manusia atas kehidupannya.
Sudah lebih dari 800 kali aksi kamisan terjadi. Pemimpin yang silih berganti selalu mengkampanyekan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, namun janji hanyalah tinggal janji jika yang mengatakannya bukan orang yang pernah menepati janji.
Sejarah panjang bangsa ini memang tidak selalu bersih, selalu ada harga yang dibayar saat terjadi perubahan sistem. Namun, penghilangan paksa dan pelanggaran HAM lainnya adalah hal yang tidak bisa dibenarkan.
Negara seharusnya bertanggung jawab karena kehilangan orang yang dicintai pastinya selalu mendatangkan kepedihan. Tetaplah bersuara meminta hak yang telah dilanggar, sebab jika hukum tidak ditegakkan hari ini, maka tak ada jaminan bahwa hal seperti itu akan terulang kembali di masa yang akan datang.
Muh. Amar Masyhudul Haq
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unhas
Sekaligus Litbang SDM PK identitas Unhas 2024