Dalam rangka Milad ke-17, Departemen Sastra Jepang mengadakan Kuliah Umum bertajuk “Forseeing The Future Japanese Society“. Menghadirkan pemateri dari Jepang, Dosen Antropologi Kanazawa University, Prof Haruya Kagami. Kegiatan bertempat di Ruang Senat FIB Unhas, Selasa (6/9).
Dalam kesempatannya, Haruya mengulas sosial dan budaya Jepang pasca perang dan masa kini. Ia menjelaskan, pasca Perang Dunia (PD) II ada tiga perubahan sosial dan budaya yang terjadi, yaitu gaya hidup kebarat-baratan (Moderization lifestyle), hubungan keluarga dan anak tidak begitu ketat (Fluidization of social bond), dan homogenisasi budaya.
Dalam melihat perubahan-perubahan tersebut, Haruya membagi lima tahap periode perubahan sosial budaya. Pertama, pemulihan cepat dari dampak PD II (1940-1955). Kedua, pertumbuhan ekonomi yang cepat untuk mengejar negara-negara maju (1955-1973). Ketiga, peningkatan kehadiran di kancah dunia (1973-1990). Keempat, stagnasi ekonomi dan berakhirnya ekonomi yang menggelegak (1990-1997). Kelima, stabilisasi ekonomi dan datangnya masyarakat yang menua (1997~).
Lebih lanjut, Haruya mengungkapkan, pada masa PD II Jepang mengalami kekurangan penduduk sekitar 72 juta orang. Hal ini dikarenakan tingginya angka kematian bayi yang baru lahir.
“Turunnya jumlah pertumbuhan penduduk dikarenakan tingginya angka kematian bayi yg disebabkan lingkungan yang kotor,” imbuh Haruya.
Ia juga menambahkan, pada masa PD II, Jepang dikuasai sekutu selama 7 tahun. Terdapat banyak aturan yang berubah, seperti kebebasan wanita dalam hak memilih dalam pemilihan, diwajibkan jenjang pendidikan SD dan SMP, serta kepemilikan lahan sawah sekitar 2 hektar.
“Semoga sosial budaya Jepang saat ini dapat terus berkembang dengan baik,” pungkas Haruya.
Davino Maulana Rahadian

Discussion about this post