Saat ini berbagai inovasi kemasan kerap ditemui. Tidak hanya pemilik usaha yang mampu menciptakan inovasi-inovasi kemasan, semua orang yang memiliki curiosity dapat menciptakan inovasi tersebut, dan yang paling sering didengar adalah inovasi dari mahasiswa.
Berbagai produk tentu memiliki kemasan dalam bentuk dan daya tahan yang berbeda-beda. Selain menambah daya tarik konsumen, kemasan juga diketahui memengaruhi daya tahan atau mutu suatu produk. Daging merupakan salah satu komoditi pangan yang memiliki karakteristik yang sangat mudah rusak hingga menjadi salah satu bahan pangan penyumbang food lose terbesar.
Mentaktisi permasalahan tersebut, salah satu tim Universitas Hasanuddin (Unhas) yang diketuai mahasiswa jurusan Teknologi Pertanian, Muhammad Hanif Muflih melakukan inovasi pengemasan terhadap daging. Ia bersama keempat rekannya, jurusan Teknologi Pertanian Nur Azizah (2018), jurusan Teknologi Pertanian, Andi Nisra Fasirah (2018), jurusan Kimia Aulia Karimah (2019), dan jurusan Kimia Izzatin Rumaisha Zahra (2019) membuat produk pengemasan yang dinamakan Edible Film.
Saat diwawancarai oleh tim identitas pada Kamis, (11/11), Hanif menyampaikan bahwa edible film merupakan suatu produk pengemasan primer yang berfungsi sebagai suatu lapisan tipis yang umumnya dibuat dari bahan dasar yang biodegradable atau bahan alam seperti patih atau karagenan. “Kemudian untuk menambah sifat fungsional dari kemasan ini kami menambahkan suatu senyawa aktif yang berasal dari minyak esensial dari tanaman seperti minyak esensial dari bawang putih,” jelasnya.
Dalam pembuatannya, alat dan bahan yang digunakan yaitu, bulp, Bunsen, cawan petri, desikator, Differential Scanning Calorimetry (DSC), erlenmenyer, Fourier Transform Infra Red (FTIR), gelar ukur, gelas kimia, gunting, hotplate, kertas pH, microwave, mortal dan pastle, oven, pinset, pipet ukur, pipet volume, saringan 60 mesh, spreader, strirrer, tabung reaksi, timbangan analitik, wadah.
“Untuk bahannya, kami gunakan karagenan, karagenan diekstrak dari rumput laut. Kemudian carbon dots yang disintesis dari daun mangga segar kemudian minyak esensial bawang putih sebagai anti mikrobanya,” tambah Hanif.
Pembuatan kemasan dilakukan selama tiga bulan, sejak Juni hingga Agustus 2021 secara daring dan luring. Lebih lanjut, metode yang digunakan yait ekstraksi karagenan, sintesis carbon dots, dan pembuatan biodegradable-active packaging. “Untuk parameter pengamatan dilakukan pengujian daya larut air, pengujian kuat tarik, analisis termal, pengujian FTIR, pengujian antimikroba, dan uji Angka Lempeng Total (ALT),” ujar Hanif.
Hanif juga mengatakan edible film ini tidak bisa menggantikan plastik. Hanya saja edible film bisa menjadi pengemas primer atau pengemas awal untuk mencegah adanya bakteri dari luar yang masuk ke dalam daging yang dapat memengaruhi daya simpan daging.Meskipun kemasan primer, edible film tetap biodegradable. Kemarin kami sempat melakukan penelitian daya larut, edible film ini mudah larut dalam air dan kelarutannya tinggi. Meskipun sebenanrya ada uji daya degradasi yang ditanam dalam tanah tapi kami tidak lakukan.
Edible film yang dibuat belum diproduksi dan diimplementasikan pada masyarakat. Hanya sebatas pengaplikasian ke dagingnya saja dengan uji anti mikroba, untuk membuktikan apakah ini dapat menghambat mikroba yang masuk ked aging atau tidak. “Untuk edible film sudah sangat banyak, hanya belum ada yang komersial, hanya sebatas skala laboratorium. Hal pembeda atau kebaharuan edible film yang kami buat adalah menggunakan carbon dots. Itu salah satu kebaharuan dari daun mangga,” ujar Hanif.
Untuk daya tahan kemasan yang diberikan terhadap daging kurang lebih lima hari hingga terjadi perubahan warna menjadi sedikit menggelap. Hanya saja jika kemasan tidak dipakai untuk mengemas daging dan kemasan disimpan dalam alumunium foil, kemasan masih dapat bertahan hingga jangka waktu satu minggu.
Selain ramah lingkungan, edible film juga ekonomis untuk masyarakat. Harganya kurang lebih Rp 6000 sampai Rp 7000 untuk melapisi 1 Kg daging. Kemasan ini dapat mengemas semua komoditi pangan tidak hanya daging, hanya saja fokus penlitian ini adalah daging.
Di akhir wawancara, Hanif menuturkan perlunya pendalaman lagi kedepannya untuk edible film ini menjadi kemasan yang baik. Perlunya meninjau berbagai aspek, misalnya ketika menggunakan karagenan dari rumput laut khawaritnya komoditi karagenan tidak lagi digunakan kea rah lain. “Masih butuh pengembangan lagi untuk dapat di komersialkan. Mungkin teman-teman dari Unhas lebih banyak meneliti mengenai hal-hal yang terbarukan, utamanya masalah mengenai plastik yang menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi manusia saat ini,” tutup Hanif.
Winona Vanessa HN