Di Indonesia terdapat sebuah jenis minuman yang kerap dianggap sebagai “Primadona Kopi” yakni kopi Luwak. Kopi ini dihasilkan dari binatang luwak yang memiliki kemampuan untuk memilih kopi yang telah matang sempurna kemudian dikonsumsi. Selama proses pencernaan hanya kulit kopi saja yang dicerna sedangkan biji kopi ikut keluar bersama dengan kotoran. Biji kopi yang dihasilkan itu memiliki aroma dan cita rasa yang unik dan diminati masyarakat.

Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) penerima beasiswa Program Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU), Fitri melakukan penelitian berjudul “Fermentasi Kopi Arabika Menggunakan Bakteri Asam Laktat Asal Pencernaan Luwak (Paradoxurus Hermaphroditus)”. Dimana dalam penelitian ini, ia menemukan cara lain menghasilkan kopi luwak tanpa melalui proses pencernaannya. Adanya penelitian ini karena ia melihat konsumen kopi yang meragukan kehigienisan dan kehalalannya karena berasal dari kotoran sebuah hewan.
Selain itu, meningkatknya permintaan kopi luwak mengakibatkan usaha budidaya binatang luwak juga meningkat. Hal tersebut mengancam kelestarian luwak di alam. “Kelestariannya terancam karena hewan ini masuk kategori hewan omnivore dimana biji kopi bukanlah makanan pokok mereka. Akibat hal tersebut, luwak seringkali mati begitu saja,” tuturnya saat diwawancarai via Telefon Whatsapp, Minggu (16/04).
Sejak tahun 2010, penelitian terkait ini sudah mulai dilakukan hanya saja masih terdapat beberapa kekurangan seperti nilai cita rasa serta waktu fermentasi yang cukup lama, yakni dua minggu. Berbanding terbalik dengan proses aslinya yakni saat dimakan, dicerna dan keluar menjadi kotoran oleh luwak hanya membutuhkan waktu 12 jam.
Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa kemudian ia mengangkat penelitian ini. Proses awal dimulai dengan studi literatur tentang bakteri apa yang ada pada proses fermentasi biji kopi. Ia menemukan bahwa jenis mikroba yang terdapat dalam pencernaan luwak adalah Bakteri Asam Laktat (BAL). Jenis mikroba ini juga dimanfaatkan di berbagai proses fermentasi lainnya seperi susu, keju dan lainnya.

Setelah ia menemukan bakteri apa yang diinginkan, bersama tim Klinik Hewan Pendidikan Unhas ia mengambil sampel bakteri dari dinding usus besar dan feses luwak. Pengambilan sampel sudah melalui proses kode etik yang berlaku dikarenakan binatang tersebut dikategorikan Appendix III menurut CITES yang berarti dilindungi di daerah asal dan Kawasan penyebarannya.
“Jadi saat saya urus perizinannya, ada persyaratan bahwa luwak setelah di bedah harus dalam kondisi sehat dan hidup sehingga bisa dikembalikan ke penangkaran,” tuturnya.
Usai mendapatkan sampel bakteri yang diharapkan, terdapat tahap isolat dimana memisahkan bakteri asam laktat (BAL) dari bakteri lainnya yang tidak diinginkan. Tahapan ini dilanjutkan dengan beberapa rangkaian ujian lainnya seperti perwarnaan gram, uji ketahanan asam untuk menyakinkan bahwa bakteri yang telah diisolasi sesuai yang diharapkan.
Kemudian, Alumni Ilmu dan Teknologi Pangan Unhas ini menguji tiga jenis enzim yang berperan dalam fermentasi kopi yakni seluloase, lipase dan protase. Bakteri yang memiliki enzim tersebut akan digunakan untuk pembuatan starter. Starter inilah yang menjadi mikroorganisme yang melakukan fermentasi biji kopi. Jika dibandingkan konsep nya sama dengan seperti saat pembuatan tempe yang menggunakan ragi sebagai starter.

“Setelah diteliti ditemukan produk fermentasi perlakukan menggunakan 1% starter dan durasinya terbaik di 18 jam walaupun agak lama sedikit dibanding dengan proses aslinya, ternyata hasilnya lebih baik,” jelasnya.
Kendala yang dihadapi berada pada luwaknya. Sebelum dibedah, luwak harus dalam kondisi prima yakni tidak stress, sakit dan diberikan biji kopi agar terbentuk mikroba yang diharapkan selama proses pencernaan luwak. Selain itu, BAL harus dilakukan perhatian khusus karena sangat sensitif.
“Harus dilihat bakterinya mau apa karena antara satu BAL dan BAL lainnya harus diperlakukan berbeda karena memiliki suhu yang berbeda untuk tumbuh,” tuturnya.
Hasil penelitiannya ditemukan bahwa nilai cupping test, sebuah tes yang mengevaluasi profil aroma serta flavor suatu biji kopi secara lebih spesifik adalah 86,52. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kopi arabika natural (83,84) dan kopi Arabika luwak asli (85,09). Nilai tersebut mengalahkan ekspektasi sebelum ia melakukan penelitian.
Fitri berharap penelitian ini dapat dilanjutkan dan dimanfaatkan dalam industri utamanya bagi petani luwak. Menurutnya, jika diuraikan mengenai biaya, waktu yang lebih lama dan aspek pada pembuatan kopi luwak ini, metode ini bisa diterapkan pada skala komersil.
“Tidak sebagaimana makan waktu dan biaya karena yang penting adalah didapatkan bakteri yang diharapkan dalam proses fermentasi,” tuturnya.
Muhammad Alif M.

Discussion about this post