Siapa yang tidak mengenal Gramedia Kompas (KG), perusahaan yang bergerak di bidang media massa yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1963. KG terus bergerak dinamis untuk mencerahkan masyarakat melalui lebih dari 400 jaringan usaha di seluruh Indonesia. Bisnisnya meliputi media, retail & publishing, hospitality, percetakan, penerbitan, lembaga pendidikan, bentera budaya, hingga stasiun televisi.
Dilansir dari situs resmi KG bahwa kepedulian harian kompas (salah satu jaringan usaha KG) terhadap manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya berhenti pada pemberitaan. Kompas juga peduli terhadap penderitaan masyarakat dengan membentuk lembaga nirlaba yang diberi nama Dana Kemanusiaan Kompas.
Kesuksesan dan sumbangsih KG untuk bangsa ini, tidak terjadi begitu saja. Melainkan, ada sosok inspiratif dan teladan di belakangnya yakni, Jakob Oetama, disingkat JO. Beliau lahir di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 27 September 1931. Pendiri KG ini, meninggal dunia di RS Mitra Kelapa Gading, Jakarta Utara, 9 September 2020.
Semasa hidupnya JO pernah menerima berbagai perhargaan dalam dunia jurnalistik maupun bisnis seperti, Bintang Mahaputra kelas III dari Presiden Soeharto, Wira Karya Kencana dari Menteri Negera Kependudukan/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dan berbagai penghargaan lainnya. Kepergiaannya meninggalkan banyak warisan bagi pengembangan dunia intelektual di tanah air. Di samping menekuni jurnalisme, mendiang JO juga berkecimpung di dunia Pendidikan dan Kebudayaan yang pada dasarnya sebangun dan seruang dengan misi mencerdaskan bangsa.
Mayoritas aktivitas KG yang didirikan JO Bersama PK Ojong tahun 1963 berbasis pada pengembangan dunia ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Harapannya, literasi yang memadai akan membangun iklim dan demokrasi yang sehat, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan, serta menghargai keberagaman.
Membahas sosok tokoh pers nasional ini, tidak lengkap rasanya tanpa mengetahui gaya hidupnya. Dilansir dari kompas.id, kemajuan KG yang semakin besar, Pak Jakob tentu menjadi kaya. Namun, dalam kekayaannya, ia tetap tinggal menjadi pribadi yang sederhana. Memang seperti yang pernah dikatakan mantan warwan Kompas, Thomas Pudjo, kekayaan bukanlah target hidup pak Jakob: kekayaan itu buah yang mengalir begitu saja dari kesederhanaannya.
Editor Kompas, Nasrullah Nara beberapa kali mendapat nasehat dari JO yang relevan dengan pengembangan intekletualitas. JO tidak ingin melihat kampus yang berjarak dari masyarakat. Tak ingin kampus asyik sendiri dengan dunianya.
“Kampus adalah dapur pemikiran yang jernih. Suarakan pemikiran dan riset dari kampus untuk kemashalatan khalayak. Jangan biarkan kampus jadi menara gading,” ujar Nara menirukan ucapan JO saat dihubungi melalui via zoom.
Dilansir dari majalah “Intisari” edisi Oktober 2020, JO pernah mengatakan bahwa, “Pendidikan tidak hanya menghasilkan anak-anak muda yang punya ilmu, tetapi juga tahu untuk apa ilmunya”.
Kutipan itu mengindikasikan kepada para generasi muda, khususnya para penimbah ilmu agar memahami tujuan dari suatu proses Pendidikan. Pendidikan bukanlah sebagai sarana merendahkan orang lain, melainkan tangga untuk membawa manfaat dalam kehidupakan bermasyarakat.
Selain itu Sang pendiri Kompas ini juga pernah mengatakan, “Jangan kita kerdil. Kita sulit. Orang lain lebih sulit. Janganlah kita pasif dengan sekitar. Selalu berintraksi dengan lingkungan masyarakat.”
Suatu karunia yang besar diberikan kepada mereka yang menempuh pendidikan. Padahal, ada banyak orang yang tak memiliki kesempatan melakukannya. Sivitas Akademika adalah kunci dan harapan bagi kestabilan negeri. Berjuang hingga semua membaik.
Kampus jangan sampai jadi menara gading. Jangan sampai para penghuninya hanya berdiam terhadap keadaan buruk yang menimpa khalayak. Keberadaan kampus tidak hanya mencetak orang-orang yang bergelar, tetapi juga melahirkan orang-orang yang menjadi speaker suara rakyat kecil.
Muh. Fajrul