Suasana kelas sering kali terasa kaku ketika pelajaran Bahasa Arab dimulai. Guru menuliskan daftar kosakata panjang di papan tulis, lalu siswa menyalinnya dengan wajah datar. Kata demi kata dihafalkan demi kepentingan ujian, lalu perlahan menguap dari ingatan. Bahasa Arab yang seharusnya hidup sebagai alat komunikasi, justru berubah menjadi tumpukan hafalan yang berat.
Bagi banyak siswa, belajar Bahasa Arab di kelas sangat membosankan utamanya dalam menghafal kosakata. Proses belajarnya tidak memberi ruang bermain dan jarang sekali terasa relevan dengan diri mereka. Padahal, generasi sekarang akrab dengan format belajar yang visual, interaktif, dan berbasis cerita.
Fenomena ini mendorong mahasiswa jurusan Sastra Arab Universitas Hasanuddin (Unhas), Muhammad Adhiem Bahri untuk mencari pendekatan baru. Bersama timnya, ia meneliti efektivitas komik digital sebagai media pembelajaran kosakata bahasa Arab. Penelitian ini lahir dari kegelisahan terhadap kesenjangan antara cara belajar generasi digital dan metode konvensional yang masih mendominasi ruang kelas.
Adhiem melihat bahwa siswa hari ini tumbuh bersama gawai, akrab dengan visual, dan menyukai konten yang ringan. Sementara itu, pembelajaran Bahasa Arab di banyak sekolah masih bertumpu pada daftar istilah yang harus dihafalkan, dipisahkan dari konteks, dan jarang dikaitkan dengan situasi komunikasi nyata yang relevan dengan keseharian mereka.
“Jika bahasa Arab terus diajarkan dengan pendekatan lama, tidak heran bila siswa sulit merasa tertarik,” ujarnya saat diwawancarai melalui panggilan WhatsApp, Senin (08/09).
Berangkat dari realita yang ada, Adhiem melakukan penelitian di MTsN 1 Makassar. Baginya, sekolah itu memiliki teknologi dan laboratorium yang dianggap relevan untuk penelitian. Akses teknologinya memadai, gurunya terbuka terhadap inovasi, dan infrastrukturnya mendukung pelaksanaan uji coba.
Komik digital yang dikembangkan, diuji dengan model Four-D: Define (menetapkan kebutuhan), Design (merancang), Develop (mengembangkan), dan Disseminate (menyebarkan). Selanjutnya, dari sisi produksi, ilustrasi dibuat menggunakan aplikasi Medibang Paint dan Clip Studio Paint, dengan tambahan elemen dari Canva. Prosesnya tidak sederhana. Untuk mendapatkan hasil yang berkualitas, membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Sayangnya, kualitas yang tinggi terasa berat pada perangkat yang digunakan oleh siswa. Selain itu, ukuran file yang terlalu besar juga cukup menguras kuota.
“Apabila ukuran file terlalu besar, siswa akan kesulitan membukanya melalui gawai mereka,” kata mahasiswa Sastra Arab tersebut.
Berdasarkan permasalahan tersebut, tim melakukan kompresi ukuran file dan menyesuaikan format gambar agar ringan saat diakses melalui gawai.
Setelah uji coba di kelas dan beberapa penyesuaian teknis, mulai dari kompresi ukuran file agar ringan diakses sampai penyesuaian tampilan untuk berbagai ukuran layar, dampaknya mulai terlihat. Siswa yang sebelumnya pasif berubah jadi lebih aktif. Kosakata yang mereka pelajari lebih mudah menempel di ingatan karena hadir melalui cerita visual, bukan sekadar daftar hafalan. Respons siswa pun berbeda menurut jenjang. Kelas VII umumnya menikmati unsur humor dan visual, sementara kelas VIII dan IX melihat komik ini sebagai alat bantu serius untuk memahami kosakata yang lebih kompleks.
Menurut Adhiem, kekuatan komik digital ada pada kombinasi antara visual dan narasi. Gambar memberi stimulus memori, sementara alur cerita memberi konteks penggunaan kata. Ia menjelaskan jika hanya mengandalkan gambar tanpa cerita, siswa mungkin mengingat bentuknya tetapi tidak memahami penggunaannya. Sebaliknya, kosakata tanpa visual akan kembali seperti hafalan semata.
“Ketika latar cerita berada di bandara, maka kosakata yang disajikan berkaitan dengan tema perjalanan sehingga lebih kontekstual,” jelasnya.
Meski begitu, penelitian ini juga menegaskan bahwa komik digital bukan solusi tunggal. Produksi konten menuntut waktu dan sumber daya yang berkelanjutan, dan peran guru tetap tidak tergantikan. Komik lebih tepat diposisikan sebagai pemantik diskusi atau pengantar pelajaran, sementara guru memegang peran utama untuk memperluas percakapan dan membimbing siswa menggunakan bahasa secara nyata.
Harapannya, penelitian ini bisa digunakan lebih luas hingga di luar Makassar. Potensi pengembangan sangat besar, mengingat tren belajar siswa dengan visual yang meningkat. Untuk tingkat aliyah (setara SMA), alur cerita bisa dibuat lebih kompleks dengan kosakata yang lebih spesifik.
Adhiem mengaku, dengan penyesuaian seperti ini, esensi utama visual yang menarik dan konteks penggunaan bahasa tetap bisa dipertahankan. Ia juga membayangkan, siswa yang menggunakan komik digital tersebut tidak hanya membaca, tetapi juga bisa mengklik objek untuk mendengar pelafalan kosakata atau bermain mini games di akhir cerita.
Pada akhirnya, citra Bahasa Arab di mata siswa bisa berubah. Dari mata pelajaran yang identik dengan hafalan kaku dan membosankan, menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan, relevan, dan membekas. Penelitian ini menunjukkan bahwa inovasi sederhana seperti komik digital mampu membuka ruang baru dalam pembelajaran
“Semoga ke depan siswa dapat belajar Bahasa Arab dengan cara yang lebih interaktif. Bahkan dengan teknologi seperti virtual reality,” tutupnya.
Athaya Najibah Alatas
