Pada pertengahan Agustus lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia melakukan revisi terhadap Pasal 280 ayat (1) huruf h terkait Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Perubahan ini lantas mengangkat narasi bahwa MK memperbolehkan kegiatan kampanye di lingkungan pendidikan. Sontak isu ini menjadi ramai diperbincangkan di masyarakat.
Pro dan kontra kemudian mengemuka di kalangan para pengamat dan praktisi pendidikan. Beberapa pihak menyambut baik langkah ini, namun di sisi lain ada juga yang menolak secara tegas kampanye dilakukan di lingkungan pendidikan, terutama kampus.
Merespons hal tersebut, pada 25 Agustus lalu, Unhas mengumumkan ke media terkait kesiapannya diadakan debat bakal calon presiden (bacapres) di kampus. Mengutip CNN Indonesia, Unhas mengaku siap lantaran memiliki sumber daya manusia dan kapasitas infrastruktur yang bagus.
Debat para bacapres di lingkungan kampus sebagai aktivitas kampanye politik masih menjadi bahan kajian di kalangan sivitas akademika. Demisioner Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Unhas, Ahmad Fauzan, mengaku sama sekali tidak melihat urgensi dari kegiatan debat politik semacam itu di lingkungan kampus.
“Saya tidak mendapatkan urgensinya sama sekali. Hanya saja kalau misalnya kita berkaca dari pendidikan, mungkin hal ini bisa saja menjadi urgent untuk dilakukan karena menghadirkan pendidikan politik bagi kita sebagai mahasiswa,” ungkapnya ketika dihubungi, Jumat (15/09).
Menurut Fauzan, kampanye di lingkungan kampus akan menimbulkan beberapa polemik, seperti terganggunya netralitas kampus dan adanya kampanye hitam. “Kampus adalah media atau sarana yang cukup bagus untuk melakukan politik praktis dan kampanye hitam. Kalau bisa pegang kendali di kampus, itu lumayan kan bisa dapat suara,” tambahnya.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas, Abdullah Dzakwan Djuanda mengkhawatirkan hal yang sama. Ia menjelaskan, kampus memang sedari awal sudah tidak netral. “Saya kira sedari awal memang tidak pernah netral kampus ini sebagai suatu lembaga, karena pasti ada relasi-relasi politik yang juga dibangun Unhas,” ujarnya.
Mahasiswa Hubungan Internasional itu meminta agar Unhas dapat lebih objektif di tahun politik. Kampus disebutnya harus memahami dinamika politik agar dapat menjaga marwah perguruan tinggi yang netral dari campur tangan kepentingan pihak tertentu.
Dzakwan juga menekankan perlunya pengkajian terkait batasan untuk kegiatan berbau politik di lingkungan kampus. Sejauh ini batasan di Unhas seperti debat, diskusi, dan kuliah umum, sulit dikategorikan sebagai sebuah kegiatan kampanye atau bukan.
“Saya kira perlu diperjelas lagi dan diberi semacam batasan agar benar-benar kampus ini bukan cuma tempat kampanye, karena di satu sisi perlu diingat kampus sebagai tempatnya komunitas akademik,” katanya melalui telepon WhatsApp, Jumat (15/09).
Dosen Ilmu Politik Unhas, Andi Naharuddin SIP MSi, menerangkan bahwa kampus seharusnya menjadi tempat yang inklusif bagi banyak pihak. Namun, meskipun Unhas harus menjaga netralitasnya sebagai lembaga pendidikan, itu bukan berarti kampus alergi terhadap hal berbau politik.
Kesiapan Unhas menjadi tempat debat kandidat bacapres dianggapnya merupakan sebuah kemajuan. Namun, ada batasan yang harus dilakukan agar dampak negatif dari debat atau kampanye politik di lingkungan kampus dapat ditekan.
“Pertama, tidak membawa simpatisan dalam jumlah banyak. Mungkin dibatasi dan tidak boleh berkampanye keliling kampus. Yang kedua, Unhas harus menyiapkan panelis yang juga harus orang netral. Artinya, kalau si A bertanya bobotnya seratus persen ya si B juga sama,” bebernya ketika ditemui di Departemen Ilmu Politik, Selasa (12/09).
Menurutnya, kampus justru menjadi tempat yang tepat untuk membedah gagasan-gagasan para calon pemimpin bangsa. Adanya para akademisi yang ahli di bidangnya membuat kampus layak dari segi sumber daya manusia untuk menimbang gagasan kebijakan yang akan dilaksanakan.
Hal yang tidak jauh berbeda juga dikemukakan Pakar Komunikasi Politik Unhas, Dr M Iqbal Sultan M Si. Ia memandang bahwa kampus adalah tempat yang terbuka dan tidak akan mudah diarahkan untuk memilih kandidat tertentu.
Ia menambahkan, setiap orang di lingkungan kampus seharusnya sudah terpredisposisi, dalam artian bahwa setiap orang sudah memiliki kecenderungan awal untuk memilih kandidat. Kegiatan kampanye di lingkungan kampus akan menjadi tempat untuk menguji kandidat itu layak atau tidak bagi setiap pemilih.
“Saya kira kedewasaan kita dan para profesor di Unhas pun ini sudah punya predisposisi dan itu biasa-biasa saja. Ngapain kita mau berkelahi karena itu. Harusnya kita saling adu secara gagasan dari para calon yang kita sudah minati,” tambahnya.
Terkait berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, ia tidak menaruh kekhawatiran yang berlebih. Sivitas akademika hanya memerlukan kedewasaan berpikir untuk menjalani tahun-tahun politik. Ia menambahkan bahwa kampus seharusnya menjadi tempat jual beli gagasan antara sang calon pemimpin dan calon pemilih, dan bukan menjadi tempat adu otot untuk menentukan siapa kandidat terbaik ke depannya.
Mimbar Akademik
Rektor Unhas, Prof Jamaluddin Jompa, menampik penggunaan sebutan debat kampanye politik di lingkungan kampus dan lebih memilih menggunakan kata mimbar akademik. Menurutnya, kampanye yang dilakukan oleh partai jelas tidak akan dibolehkan secara total apalagi jika sampai memperlihatkan atribut kampanye.
Lelaki dengan sapaan akrab Prof JJ itu juga menyebutkan, terbukanya kampus sebagai tempat kegiatan politik akan memperlihatkan citra Unhas sebagai tempat yang terbuka, serta kampus dapat memberikan kontribusi lebih besar dalam kemajuan politik bangsa.
Adapun pihak yang dibolehkan hadir di Unhas untuk menyampaikan gagasannya juga bukanlah politikus sembarangan. Tetapi ada karakteristik atau tingkatan tertentu yang harus dipenuhi.
“Kita liat kira-kira siapa yang diprioritaskan, tidak semua lah. Kan paling yang kita prioritaskan seperti bakal calon presiden, atau kita juga ajak calon wakil presidennya,” tuturnya ketika diwawancara di lift Rektorat Unhas, Senin (18/09).
Kampanye di lingkungan kampus memang berpotensi memunculkan berbagai dampak negatif, seperti terpecahnya sivitas akademika, kampanye hitam, dan terganggunya netralitas kampus. Namun, kegiatan debat politik akan menjadi kesempatan bagi mahasiswa Unhas untuk berdialog dengan calon pemimpin, dan juga memberikan masukan pemikiran yang dianggap baik untuk kemajuan bangsa.
Zpt