7 September 2004 menjadi hari duka bagi para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia. Kala itu, salah seorang pejuang HAM dinyatakan meninggal dunia dalam penerbangannya menuju Amsterdam, Belanda.
Munir Said Thalib, dikenal sebagai sosok pejuang hak asasi manusia yang gigih membela kaum tertindas dan korban ketidakadilan. Lahir di Malang, 6 Desember 1965, Munir tumbuh menjadi aktivis yang tak kenal takut dalam mengkritik rezim otoriter dan membongkar berbagai kasus pelanggaran HAM.
Munir merupakan anak ke enam dari tujuh bersaudara dari pasangan Said Thalib dan Jamilah Umar Thalib. Tumbuh di keluarga muslim keturunan Yaman membawa Munir aktif terlibat dalam organisasi Islam, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Al Irsyad.
Sebagai anak yang tumbuh di tengah keluarga pedagang, Munir turut membantu ibunya sejak ayahnya meninggal saat menduduki bangku kelas 5 SD. Pengalaman berdagang sejak kecil membuatnya belajar berinteraksi dan menghargai orang lain.
Bibit perjuangan HAM Munir sudah terbentuk sejak kecil, salah satunya dipengaruhi oleh pandangan ibunya tentang etnisitas di Indonesia kala itu. Peristiwa penyerangan etnis Cina di Jawa mengajarkan Munir agar tidak memandang suku dan agama. Tak sampai di situ saja, saat beranjak di bangku SMP, Munir pernah menemukan mayat perempuan yang terbunuh dan melaporkannya ke polisi.
Dedikasinya memperjuangkan kebenaran semakin terasah begitu ia melanjutkan pendidikannya. Setelah lulus SMA, Munir melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB). Selama menempuh pendidikan sarjana di UB, ia pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum.
Usai lulus, Munir bergabung sebagai relawan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Surabaya selama dua tahun. Ia juga terpilih sebagai Ketua LBH Pos Surabaya di Malang dan Wakil Ketua Bidang Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Pada 1996, Munir mendirikan Koordinator KIP-HAM, komisi yang bekerja memantau persoalan HAM. Kini Koordinator KIP-HAM telah berubah nama menjadi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). KontraS merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak aktif dalam bidang perjuangan hak asasi manusia, khususnya korban penghilangan paksa dan pelanggaran HAM.
Ruang gerak aktivitas politik Munir jadi terbatas sejak masuk transisi politik pasca 1998. Namun, hal tersebut tidak menghambatnya untuk terus membela keadilan HAM. Begitu banyak kasus-kasus kekerasan yang diresahkan para korban pada KontraS dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tempatnya bekerja.
Beberapa kasus yang berdatangan itu, di antaranya Kasus Tanjung Priok (1984), Tragedi Mei (1988), kerusuhan di Maluku, Kalimantan, Poso, dan masih banyak lagi. Advokasinya bersama KontraS juga berpengaruh besar dalam penculikan tiga aktivis mahasiswa yang berhasil melengserkan tiga perwira penting militer Kopassus, yakni Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR, dan Kolonel Chairawan.
Dalam insiden politik tersebut, Munir berhasil menguak kasus institusi militer. Advokasinya itu menjadi peristiwa yang menggegerkan sejarah politik militer Indonesia. Kasus-kasus negara yang berhasil diungkapnya memunculkan sejumlah ‘musuh’, terutama dari orang-orang yang memiliki kedudukan formal negara.
Demi menjunjung tinggi HAM, Munir memutuskan untuk melanjutkan pendidikan magisternya di Belanda. Pada 6 September 2004, Munir berangkat menggunakan maskapai penerbangan Garuda Indonesia bernomor penerbangan 974 dari Jakarta menuju Amsterdam. Belum sampai di Negara Kincir, Munir dikabarkan meninggal dunia ketika pesawat berada pada ketinggian 40.000 kaki di atas Rumania.
Berdasarkan kesaksian penumpang pesawat yang ditumpanginya, Munir menunjukkan tanda-tanda kesakitan. Tidak lama setelah seorang penumpang yang berprofesi sebagai dokter memberikan pertolongan, Munir menghela nafas terakhirnya. Kabar duka tersebut tentu menimbulkan kecurigaan. Dilansir dari Tempo, polisi Belanda mengungkapkan fakta berdasarkan hasil autopsi bahwa kematian Munir disebabkan racun dari kadar arsenik di tubuhnya.
Kepergian Munir pun menyisakan kesedihan mendalam bagi keluarga dan masyarakat Indonesia. Sosok yang tak kenal takut menyuarakan nasib kaum buruh, aktivis mahasiswa dan pemuda, serta kelompok masyarakat yang mengalami penindasan menjadikannya abadi sebagai simbol keberanian melawan ketidakadilan. Sejak itu, tanggal kematian Munir pada 7 September dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.
Perjuangannya dalam menegakkan HAM di Indonesia memberikannya penghargaan sebagai Man of the Year dalam majalah Ummat tahun 1998. Pada 2000, Munir dinobatkan sebagai satu dari 20 Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium baru dan dianugerahi Right Livelihood Award. Tidak hanya itu, ia juga memenangkan honourable mention pada Penghargaan Madanjeet Sigh untuk Pemajuan Toleransi dan Nirkekerasan dari UNESCO.
Jum Nabilah