Narkoba atau narkotika, psikotropika, dan obat terlarang menjadi barang haram di Indonesia sesuai ketetapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, akan tetapi peredarannya masih saja terjadi. Maraknya penangkapan pengguna, bandar, hingga jaringan distribusi terkait meramaikan pemberitaan media massa.
Narkoba erat hubunganya dengan para pelanggar aturan dan tidak patuh norma. Seringkali adalah anggota masyarakat yang bermasalah. Namun bagaimana jadinya jika civitas academica kampus yang terjerat akan barang haram ini?
Terbitan identitas Maret 2008 mencatat, seorang dosen Universitas Hasanuddin (Unhas) tertangkap membawa narkoba oleh Tim Satuan Narkoba Polrestabes Makassar. K adalah dosen di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) yang telah bertugas sejak 1985. K memang tidak terbukti sebagai pemakai, akan tetapi dirinya tetap ditetapkan sebagai tersangka karena terbukti menyimpan dan mengetahui keberadaan narkoba tersebut.
Setahun sebelumnya, K bersama tiga teman pria dan seorang wanita mengendarai mobil Kijang hitam dari arah jalan Sumba menuju jalan AP Pettarani pada Minggu malam awal Oktober. Karaoke bersama menjadi tujuan mereka di salah satu hotel primadona di Makassar pada zaman itu. Salah seorang kawan K, Frans mengusulkan untuk membeli narkoba sebelum menuju hotel. “Tapi kita cari inex (ekstasi) dulu ya pak,” ucapnya.
Walaupun telah berkeliling ke setiap sudut Makassar, yang mereka tahu menjajakan inex, tetapi pencarian tersebut tidak membuahkan hasil. Hingga akhirnya K mengarahkan ke Jalan Somba Opu, tempat yang ia tahu menjual obat terlarang itu.
Akhirnya, obat yang dicari-cari akhirnya didapatkan dengan menukar uang sebesar Rp 170 ribu setiap butir. Mereka membeli tiga butir yang rencananya akan digunakan di tempat karaoke. Nahas sebelum bersenang-senang mereka diringkus aparat.
K pun mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Makassar sejak saat itu, di mana dalam setiap pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian ia menganggap dirinya tidak bersalah. “Barang itu (inex) bukan milik saya, tapi saya dipaksa polisi mengambilnya,” ucapnya saat itu kepada identitas.
Bagai tikus yang masuk dalam perangkap, penangkapan sang dosen dan kawan-kawanya berjalan mulus karena sopir yang membawa mereka adalah anggota Satuan Narkoba Polrestabes Makassar yang sedang menyamar. Sehingga Heri, sang sopir yang menyamar, dengan mudah membocorkan informasi terkait transaksi ilegal tersebut kepada rekan-rekan polisi melalui pesan singkat.
Kasus penangkapan dosen Unhas ini menghebohkan Kota Makassar. Kapolrestabes Makassar kala itu, Genot Hariyanto, menyampaikan penangkapan itu menjadi indikator atas jaringan narkoba di internal kampus sehingga mereka akan melakukan penyidikan pada beberapa kampus di Makassar.
Selain K, berdasarkan penelusuran identitas, terdapat lima mahasiswa Unhas yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Narkoba Kelas II A Sungguminasa, Gowa. Mereka berinisial RTO, YMN, MAI, SYF, dan ASA. Kelima orang tersebut terlibat dalam penggunaan narkoba dengan masa kurungan di bawah dua tahun.
Keterlibatan hingga penggunaan narkoba oleh civitas academica sungguh mencoreng nama besar universitas. Pasalnya iklim akademik yang dibanggabangakan nyatanya hilang percuma karena perbuatan segelintir manusia. Demikian pendapat beberapa pimpinan kampus saat itu.
Kepala Unit Pengawasan Internal, Prof Djuanda Nawawi menjelaskan sampai kapanpun Unhas tak akan kompromi dengan yang namanya narkoba. “Itu hal tercela, terlebih di tataran perguruan tinggi kalangan kaum intelektual,” pungkas Guru Besar FISIP tersebut.
Berselang enam tahun, tepatnya November 2014 identitas kembali mencatat, sepasang pengedar sabu-sabu diamankan satpam di dalam kawasan Danau Unhas. Keduanya masih remaja, tetapi sudah membawa 3 gram sabu beserta alat isap siap pakai. Sehingga mereka langsung digelandang ke Polres Tamalanrea untuk diperiksa.
Tak hanya itu, penangkapan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni (WR III) saat itu kembali menggemparkan civitas academica serta masyarakat. Tak lain ialah Prof Muzakkir SH MH. Muzakkir diringkus bersama beberapa orang lainnya yang berada di kamar yang berbeda di Hotel Grand Malibu, Makassar pada 14 November 2014. Mereka tertangkap mengonsumsi sabu-sabu bersama rekan-rekan lainnya dalam satu kamar.
Setelah dinyatakan positif dari hasil tes urin, Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Unhas itu dicopot dari jabatannya. Jabatan WR III diserahkan kepada Wakil Rektor I saat itu, Prof Junaedi Muhidong menjadi pelaksana tugas WR III dan dibantu oleh tim pendukung pelaksana kegiatan mahasiswa yang dibentuk saat itu juga.
Tak tanggung-tanggung, civitas academica FH dibuat malu dengan penangkapan guru besar tersebut. Berbagai mahasiswa di FH pun menyatakan kekesalannya lantaran ‘dosa’ yang diperbuat oleh guru besarnya sendiri.
Berbagai kasus yang menimpa civitas academica maupun masyarakat sekitar kampus dengan narkoba ini dapat menjadi pelajaran ke depannya. Entah dosen, mahasiswa, hingga anak remaja bisa terjerat narkoba. Lantas, kampus sebagai komunitas intelektual apakah sudah bebas dari barang terlarang itu?
Muhammad Nur Ilham dan M Ridwan