“Pung julung-julung, kamana’i mako mae. Tin’no dande nu, le’ba langga padalle’nu”
Dengan lirih yang mengalun, seorang pendongeng memulai perjalanan imaginernya. Ia menyanyikan salah satu bait lagu dari cerita rakyat Sulawesi Selatan (Sulsel) yang klasik, sembari menghidupkan kembali kisah-kisah yang hampir terlupakan.
Menurutnya, kisah-kisah seperti Putri Tandampalik dari Tanah Luwu, atau kisah persahabatan manusia, I Barani dan seekor ikan pung julung-julung (lumba-lumba) kian terasa asing di telinga generasi muda di Sulawesi, khususnya Makassar.
Pendongeng ini bernama Puguh Herumawan, ia telah menjelajahi berbagai sudut kota, membawakan beribu kisah dari berbagai penjuru nusantara. Dari ujung timur Indonesia hingga negeri gingseng, Korea Selatan, pria yang akrab disapa ‘Kak Heru’ ini mulai berkelana membawa keajaiban dongeng ke seluruh kalangan.
Alumnus Teknik Elektro Universitas Hasanuddin (Unhas) ini tak pernah membayangkan akan menjadi seorang pendongeng. Dulunya, ia menghabiskan waktu di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pramuka Unhas dan Radio Mahasiswa (Diorama), radio kampus yang dikelola oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Unhas kala itu.
Inspirasi terbesar Heru terjun sebagai pendongeng datang dari anaknya sendiri, Safira Devi Amorita. Saat itu, anak semata wayangnya yang masih duduk dibangku kelas lima SD mengikuti kompetisi mendongeng nasional di Jakarta. Berbuah manis, ia mulai kerap menemani Safira saat anaknya diberi panggung oleh Dinas Perpustakaan Sulsel melalui program Dongeng Keliling (Dongkel).
Melihat hal tersebut, Heru perlahan tertarik dengan dunia dongeng. “Anaknya saja bisa, masa bapaknya tidak,” kenang Heru saat ditemui di sebuah kedai kopi yang terletak di Kecamatan Somba Opu, Selasa (14/05). Pria kelahiran Boyolali ini mulai belajar secara otodidak, ia menggantikan posisi Safira sebagai pendongeng ketika anaknya itu harus fokus bersekolah.
Heru pertama kali menekuni dunia dongeng pada tahun 2011, saat itu ia masih bekerja di salah satu perusahaan infrastruktur di Kota Makassar. Kali pertamanya mendongeng menjadi pengalaman terburuk baginya, dengan bercucuran keringat, ia berusaha mengatasi rasa gugupnya saat berada di panggung. Tetapi hal itu tidak menyurutkan semangatnya.
Pria kelahiran 1971 ini akhirnya mulai mengembangkan gaya mendongengnya sendiri. Ditemani boneka bernama Bona, Heru menggunakan teknik Ventriloquist, sebuah teknik berbicara dengan menggunakan perut, untuk memperkenalkan Bona sebagai boneka yang bisa berbicara. Bona mendapatkan sambutan hangat dari anak-anak maupun orang dewasa, dan menjadi salah satu ciri khas penampilannya sejak 2013.
Heru menggunakan dongeng sebagai alat untuk mendidik, terutama bagi anak-anak. Ia tidak hanya sekadar bercerita, melainkan juga mengajak pendengarnya untuk terlibat aktif dalam alur cerita. Selain menggunakan cerita rakyat dan dongeng klasik, ia juga mengadaptasi banyak kisah-kisah populer agar tetap relevan.
Cerita Singa dan Tikus menjadi favoritnya. Saat Heru bercerita, anak-anak tidak hanya mendengarkan tetapi juga ikut berinteraksi dan turut serta dalam cerita, misalnya, ketika Heru bertanya, “Siapa yang akhirnya menolong singa?” anak-anak dengan spontan akan menjawab, “Tikus!”.
Kadang, Heru juga membawakan cerita ini dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, terutama saat mengunjungi sekolah-sekolah internasional di Makassar. Cerita ini juga biasa dibawakan Heru saat mengunjungi dan menghibur anak-anak korban bencana, untuk mengajarkan mereka tentang nilai tolong-menolong dan saling membantu di saat kesulitan.
Pada 2015 silam, bersama putrinya, Heru pernah membawakan kisah-kisah dan dongeng nusantara ke pentas internasional di Korea Selatan. Mereka dipercaya mewakili Indonesia dalam peresmian Asian Children Center (ACC) di Kota Gwangju. Ia ingat betul saat itu membawakan legenda Timun Mas, sedang anaknya mengangkat kisah Nene Pakande, salah satu cerita rakyat Bugis-Makassar.
Heru-pun memulai perjalanan baru dengan mendirikan Komunitas Rumah Dongeng di 2016, sebuah tempat yang didedikasikan untuk mewadahi bakat mendongeng bagi anak-anak. Ia bermimpi agar anak-anak lain dengan bakat seperti putrinya bisa meraih panggung nasional. Bukan hanya menarik minat anak-anak, para guru juga justru tertarik untuk menerapkan metode mendongeng tersebut dengan bergabung di Rumah Dongeng.
Tidak sampai di situ, bekerja sama dengan lembaga zakat, Heru dan komunitasnya juga menjadikan Rumah Dongeng sebagai pusat penggalangan dana melalui “Sedekah Dongeng”. Pemilik akun @dongengkakheru ini mengajak anak-anak untuk belajar bersedekah dan menyalurkan kebaikan kepada yang membutuhkan melalui dongeng.
Heru merasa harapannya perlahan menjadi kenyataan. Senyum optimis terukir di wajahnya ketika menyebut ada banyak pendongeng yang mulai tumbuh di Kota Daeng ini. Bagi Heru, Rumah Dongeng adalah angin segar yang membawa harapan baru. Di tengah budaya bertutur yang mulai memudar di sekolah-sekolah dan bahkan di rumah, Rumah Dongeng hadir sebagai oase yang menghidupkan kembali tradisi lama penuh kenangan.
Nur Muthmainah