Sejatinya pada tingkat filosofis hakikat dari perguruan tinggi hanya tiga: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian. Tiga pilar ini dinamai Tri Darma Perguruan Tinggi.
Orientasi utama perguruan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadikannya sebagai kunci dalam membangun sebuah peradaban. Tanpanya bangsa akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Pendidikan yang baik berusaha untuk mencerahkan dan membebaskan manusia dari segala terungku dan hegemoni.
Paulo Freire, dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, menjelaskan pendidikan adalah ranah yang lapang bagi semua orang. Guru atau murid, dosen dan mahasiswa didudukkan dalam status yang sama. Bagi Freire, hubungan relasional antara guru atau dosen dan murid atau mahasiswa tak lagi subjek-objek. Melainkan, sama-sama berstatus subjek.
Di mata Freire, guru atau dosen tak lagi dipandang sebagai subjek yang superior, ketimbang murid atau mahasiswa yang kadang dianggap sebagai objek cum inferior. Kebebasan pendidikan kata Freire, memiliki hubungan dialogis sesama subjek yang terbangun, dan menghasilkan konklusi dan gagasan yang segar. Freire, tentunya tak menggunakan kacamata kuda, saat menuliskan buku fenomenalnya. Ia justru memberikan antitesa dari model pendidikan gaya bank, yang ia namai; pendidikan hadap-masalah. Baginya, untuk mencapai pendidikan hadap-masalah dibutuhkan lompatan kesadaran dalam dunia pendidikan.
Paulo Freire membagi tingkatan kesadaran menjadi tiga, yakni naif, magis, dan kritis. Untuk tingkatan pertama, kesadaran naif, manusia hanya diajarkan untuk mengetahui sesuatu secara an sich. Sedangkan, tingkatan kedua, kesadaran magis pendidikan digerakkan oleh semangat indoktrinasi, dan melihat realitas sebagai orakel yang tak terjamah. Dua tingkatan kesadaran ini belum mampu untuk menciptakan model pendidikan hadap-masalah.
Oleh karena itu, pendidikan mesti menapaki tingkatan kesadaran yang paling subtil yakni kesadaran kritis. Berbeda dengan dua tingkatan sebelumnya, kesadaran kritis, murid atau mahasiswa diperintahkan untuk tidak menerima sesuatu dengan mentah-mentah. Pada kesadaran kritis, murid atau mahasiswa, guru atau dosen diwajibkan untuk membedah realitas yang ada; mendobrak segala kemapanan yang menipu; menghancurkan segala tatanan yang membelenggu; meruntuhkan segala hegemoni yang menerungku.
Demikian tupoksi dari Tri Darma Perguruan Tinggi. Namun, sudah benarkah wajah pendidikan kampus ini? Saya pikir belum. Di ruang kelas mahasiswa dituntut mengerjakan tugas a-z, tanpa tahu-menahu apa dan mengapa tugas itu dikerjakan. Ketika melemparkan pertanyaan yang sedikit kritis, kadang kala, dicaplok mahasiswa kiri, bandel, pemberontak.
Ternyata, contoh kecil itu merupakan bagian kepayahan kampus dalam mengelola pendidikan. Alih-alih melakukan pembenahan kurikulum yang benar-benar menanamkan kesadaran kritis. Unhas lebih memilih jalan mewujudkan Good University Governance.
Konsep Good University Governance, merupakan derivasi dari konsep Good Governance (GG). Setidaknya, ada tiga prinsip dari tata kelola GG ini, Partisipatif, Transparansi, dan Akuntabilitas. Ketiga prinsip ini diteruskan pada tata kelola perguruan tinggi. Namun, bagaimana jika konsep “kebaikan” tersebut berkait-kelindan dengan rasion d’etre dari neoliberalisme: Privatisasi, Deregulasi, dan Komodifikasi?
Melalui Neoliberalisme Pendidikan Tinggi dan Good University Governance (GUG), Peneliti Sahaja Institute, Muhammad Chaeroel Ansar, membedah tata kelola GUG di Unhas. Kampus, (yang katanya) peringkat ke-7 se-Indonesia versi Kemenristekdikti.
Semesta di balik punggung buku itu, mengungkapkan wacana neoliberalisme dan GUG yang dianut oleh Unhas. Ini dibuktikan dengan regulasi dan statuta universitas yang bertiwikrama. Tahun 2017, Unhas berubah status dari Badan Layanan Umum (BLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), berdasarkan PP No. 82 Tahun 2014, tentang Penetapan Unhas sebagai PTN-BH, tanggal 17 Oktober 2014. Jelang dua tahun kemudian, 22 Juli 2015, melalui PP 53 Tahun 2015, statuta Unhas ditetapkan. Perubahan status itu diresmikan oleh Menristekdikti, Prof Mohamad Nasir Ph D, pada 16 Januari 2017.
Dengan landasan hukum tersebut, semakin menguatkan eksistensi dan penetrasi neoliberalisme di lingkup Unhas. Privatisasi, membuat Unhas berhak menentukan sendiri pengaturan keuangan, rencana anggaran, pendapatan, utang, sistem akuntansi, dan sumber daya manusia. Tak hanya itu, dengan privatisasi, subsidi dari pemerintah dipangkas seminimal mungkin. Olehnya, untuk menutupi itu, sebagai PTN-BH, Unhas, diizinkan untuk melakukan investasi.
Selanjutnya, sebagai konsekuensi logis dari privatisasi, yakni deregulasi. Sederhananya, deregulasi merupakan reformasi aturan yang mengikat dan terkesan membebani. Membuka persaingan, sebebas-bebasnya, dan berupaya membangkitkan inovasi, pengembangan produk serta layanan.
Unhas sebagai PTN-BH dalam rangka mewujudkan GUG berupaya menerapkan tata kelola perguruan tinggi yang partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas. Namun privatisasi membuat Unhas berwenang menerapkan biaya kuliah berapa pun itu, tanpa intervensi dari pemerintah. Biaya UKT yang terkadang dipatok terlampau mahal, dan JNS hingga ratusan juta rupiah, menguatkan perkataan Eko Prasetyo: “orang miskin dilarang sekolah!”
Selain itu, dengan semangat persaingan yang ditelurkan oleh deregulasi, membuat Unhas sibuk memoles rupa dan memolekkan tubuh. Jargon World Class University semakin sering dipropagandakan. Semuanya dipercantik dan diperindah. Sayangnya, jika hujan mendera, banjir, cepat atau lambat, turut membersamai. Di FIB, kran wudhu dan toilet yang entah bagaimana bentuknya, tak kunjung diperbaiki.
Begitulah kampus ini. Kampus terbaik, se-Indonesia Timur, menampilkan wajahnya yang menawan. Tapi, luput menanamkan hakikat dari pendidikan: pendidikan yang bebas dan membebaskan, memanusiakan manusia. Beginilah kampus negeri rasa swasta.
Penulis Ahmad Nurfajri Syahidallah,
mahasiswa Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya Unhas,
angkatan 2018