“Dulu berbenah dengan rokok, kini jadi kawasan tanpa rokok.”
Rokok kian dianggap menjadi sebuah barang yang lumrah dikonsumsi oleh masyarakat. Angka perokok terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan dari hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adult Tobacco Survey-GATS) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), mengungkapkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang. Hal ini kemudian membuat perilaku merokok di area publik menjadi pemandangan yang lumrah.
Masalah kemudian muncul ketika orang-orang merokok di sembarang tempat. Asap, abu, serta puntung rokok dapat mengganggu lingkungan, utamanya orang-orang di sekitar. Berbagai upaya untuk menciptakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR kemudian diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Sulawesi Selatan sejak 30 Maret 2015 silam. Dalam Bab III “Ruang Lingkup KTR” meliputi salah satunya adalah tempat proses belajar mengajar, bahwa aturan ini juga berlaku di lingkungan universitas sebagai sarana akademik. Dengan hadirnya Perda tersebut, universitas patut mengikuti aturan kawasan tersebut secara penuh dan menyeluruh.
Dilansir dari Bundel identitas Unhas edisi November 2002, dulunya Unhas sendiri banyak bekerjasama dengan berbagai industri rokok sebagai media sponsorship. Disebut-sebut bahwa dibutuhkan tangan-tangan lain untuk menyokong pembenahan fasilitas kampus saat itu, salah satunya dari tangan sponsor produk rokok. Bagi perusahaan rokok, kampus merupakan pasar yang menjanjikan untuk melayangkan promosi.
Menurut Dekan Fisip Unhas, Hafid Cangara pada November 2002, hanya produsen rokok yang ingin terlibat mendukung kampus. “Membantu tapi banyak juga tuntutannya”, meski saling dibilang memberi dan menerima, kehadiran merk rokok memicu berbagai tanggapan. “Coba jika ada Bank yang bersedia, tentulah tak perlu rokok atau minuman ringan yang diandalkan.” imbuhnya.
Beberapa tahun setelahnya, Unhas kemudian mulai memutuskan kerja sama dengan berbagai produsen rokok. Puncaknya pada tahun 2018, Rektor Unhas kemudian menetapkan kampus merah sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 9/UN4.1/2018 pada 2018 lalu. Peraturan ini berarti lingkungan atau area di kampus Unhas harus bebas dari kegiatan merokok, termasuk kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan mempromosikan produk tembakau.
Adapun beberapa kawasan Unhas yang ditinjau telah lama menerapkan KTR, bersumber dari Bundel identitas pada April 2015 diantaranya Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Fakultas Kedokteran (FK), Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), dan Sekolah Pascasarjana.
Mengutip dari terbitan identitas pada April 2018, Dekan FKM kala itu, Prof Dr drg Andi Zulkifli M Kes, menyebut bahwa FKM telah berkomitmen dalam penerapan KTR melalui penandatanganan perjanjian oleh mahasiswa dan putusan rapat senat FKM bagi dosen dan pegawai.
“Ada perjanjian yang ditandatangani bersama oleh mahasiswa dan orang tuanya, baik dalam hal narkoba, merokok dan perbuatan asusila. Kalau peraturan kalangan dosen, mereka tahu semua, itu keputusan senat (fakultas),” ujarnya.
Sebagai fakultas yang telah lama menerapkan KTR, hingga kini siapa saja yang berada di area FKM tidak boleh merokok. Pada 2019, dikutip dari Bundel identitas edisi Maret, Mahasiswa FKM 2015, Firman, sempat menuturkan bahwa seorang tukang bangunan yang pernah bekerja di kawasan FKM sempat mendapat teguran dari WD III karena merokok pada saat itu.
“Waktu di kelas, WD III kami pernah berbicara bahwa ada tukang bangunan melanggar KTR lantas ia ditegur. Tetapi ia menjawab, ia tidak bisa bekerja kalau tidak merokok. Lantas WD III menyuruh memilih, pilih taati peraturan atau diganti dengan tukang bangunan lainnya. Jadi, pekerja tadi lebih memilih turuti peraturan,” jelasnya.
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ini juga sempat menuai kontra dari para mahasiswa. Berdasar pada Bundel identitas pada April 2015, dalam Jajak Pendapat terhadap 140 mahasiswa perokok. Sebagian besar alasan mereka merokok adalah rokok membantu mereka untuk berkonsentrasi, lebih dari setengah sampel juga sadar akan bahaya rokok dan tetap menghargai para orang-orang yang tidak merokok. Namun, 55% dari sampel tersebut merasa bahwa KTR akan membatasi hak mereka sebagai perokok.
Dalam wawancara dengan tim identitas pada April 2015, Direktur Rumah Sakit Pendidikan Unhas, Prof Dr dr M.Alimin Maidin MPH, mengatakan bahwa hak para perokok juga perlu dipenuhi dengan penyediaan tempat merokok. “Idealnya para perokok disediakan tempat yang tidak beratap untuk merokok seperti tempat terbuka hijau yang banyak pohon,” ujarnya.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Perda KTR, Ariadi Arsal SP, juga sempat memberi penegasan bahwa perda KTR ini juga menghormati para perokok.
“Sebenarnya Perda ini bukan untuk menghukum perokok. Adanya KTR ini kehidupan kita lebih sehat, bagi perokok tidak dibatasi, hanya saja silahkan ditempat yang disediakan. Dengan adanya KTR usia harapan hidup ini lebih panjang,” ucapnya dilansir dari Bundel identitas April 2015.
Dalam wawancaranya, Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian, Andi Irwan Firdyansyah, mengungkapkan ketidak siapan Unhas dalam menghadapi aturan tersebut. “Perlu ada pra dan pasca sosialisasi kebijakan, bahwa aturan tersebut juga tidak bisa diterapkan secara langsung namun harus berkala. Sarana dan prasarana juga perlu lebih dulu disediakan sebelum penuntutan kesadaran dari para perokok,” ungkap Irwan dilansir dari Bundel identitas April 2015.
Meskipun Unhas telah resmi sebagai KTR, hingga berita ini diterbitkan, masih nampak sivitas akademika yang merokok di area kampus Unhas. Larangan berupa palang peringatan yang bertuliskan “Kawasan Tanpa Rokok” juga hanya hadir di beberapa tempat, menjelaskan bahwa aturan ini belum sepenuhnya efisien. Ruang yang seharusnya disediakan bagi para perokok juga belum nampak di berbagai sudut lokasi di Unhas. Beberapa kawasan mungkin telah berhasil dengan tegas menerapkan aturan tersebut, namun bagaimana dengan kawasan lain di kampus merah yang luas ini? Apakah Kawasan Tanpa Rokok benar-benar dipatuhi?
Nur Muthmainnah