Tidak cukup melakukan pencopotan terhadap dua anggota TNI-AU di Papua, begitupun permintaan maaf, banyak pihak menginginkan dilakukannya peradilan umum. Namun hal ini belum diatur dalam UU.
Tindakan kekerasan anggota militer terhadap penyandang difabel yang terjadi di Merauke, Papua, merupakan arogansi dan tindakan rasisme, yang menyayat batin. Bagaimana tidak, dua anggota TNI-AU seharusnya menjaga keselamatan rakyat justru melakukan tindakan kekerasan dengan dalih menjaga keamanan serta ketertiban.
Lantas, apa bedanya dengan penjajah kolonial yang menjaga kekuasaan? Walhasil penyelesaian kasusnya hingga kini hanya berupa ungkapan permintaan maaf dari kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Fadjar Prasetyo dan pengevaluasian terhadap dua oknum tersebut.
Dalam kaca mata Hukum Internasional, kekerasan seperti ini sangat dikecam dan dilarang. Dasar hukumnya sudah jelas tertuang dalam Universal Declaration of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) Pasal 5 “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment” (Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi).
Pertanyaan yang kemudian menjadi sorotan publik adalah apakah aksi menginjak kepala warga penyandang difabel di atas aspal oleh oknum tentara merupakan perbuatan manusiawi atau tidak? Kendati penilaian kemanusiaan bersifat abstrak namun setiap hati nurani bisa turut serta merasakan.
Bila mencermati hukum yang mengatur Hak Asasi Manusia (HAM) tindakan ini memang tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, tetapi kejadian tersebut telah melanggar UU No.39 Tahun 1999 Pasal 1 angka 6 dan Pasal 33 Juncto Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pelanggaran ini memang tidak dapat masuk ke pengadilan sebagai pelanggaran HAM sesuai UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, namun instansi terkait dapat melakukan penuntutan pada oknum yang telah mencedarai hak warga sipil penyandang difabel tersebut dengan pasal 351 KUHP.
Salah satu pegiat HAM yakni Veronica Koman mendesak agar dua orang anggota TNI AU ini diadili lewat pengadilan sipil bukan militer. Namun pokok permasalahannya adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer tidak dapat langsung masuk ke pengadilan umum atau sipil.
Hingga saat ini, antara peradilan militer dengan peradilan umum terjadi carut marut kekuasaan mengenai tindakan pidana umum yang dilakukan oleh TNI. Pada Ketetapan Majelis Perwakilan Rakyat Indonesia (MPR RI) Nomor VII/MPR/2000 di dalamnya telah dijelaskan ketika terjadi pelanggaran hukum militer, maka seorang anggota TNI harus tunduk pada peradilan hukum militer dan ketika melakukan pelanggaran umum maka harus tunduk pada peradilan umum.
Ternyata sampai saat ini perkara pidana umum yang dilakukan anggota TNI belum diatur dalam peradilan umum. Adanya kekosongan hukum ini menyebabkan anggota TNI tetap tunduk terhadap peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam UU No.31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer Juncto UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Upaya pemberhentian keanggotaan dua oknum TNI tersebut bukan jawaban untuk menyelesaikan masalah di atas. Pengadilan militer acap kali dirasa memberikan impunitas bagi anggotanya sehingga kekerasan terhadap masyarakat terus terulang.
Menurut data dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan anggota TNI dari Oktober 2019 hingga september 2020 telah mencapai 76 peristiwa. Oleh karena itu, apakah anggota TNI dapat diadili melalui peradilan umum atau tidak?
Pertama, apabila dua anggota TNI-AU ini memungkinkan diberhentikan dari masa jabatannya sebagai aparatur negara, maka mereka dapat diadili melalui pengadilan umum, sebab statusnya bukan lagi sebagai anggota militer yang tunduk dan patuh pada UU No.31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer Juncto UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Kedua, ketika status keanggotaannya tidak dicabut maka pengadilan umum tidak dapat mengadili oknum terkait, sebab belum ada hukum yang mengaturnya.
Ketiga, bisa jadi status keanggotaannya dicabut melalui putusan pengadilan militer maka kemungkinan dapat berlakunya asas hukum pidana “nebis in idem” terhadap perkara yang sama tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya.
Setelah melakukan analisis terhadap kasus di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa melihat wajah hukum Indonesia saat ini, pemerintah seharusnya lebih tegas dalam menegakkan hukum untuk kepentingan rakyat. Agar tidak ada lagi oknum yang tidak bertanggung jawab dalam mengemban tugasnya; mereka yang seharusnya melindungi tetapi justru mencederai hak-hak warga sipil.
Dalam menyelesaikan sebuah perkara hukum, pemerintah justru terkesan menyepelekan, sebab kedua oknum yang melakukan pelanggaran tidak diberikan sanksi sebagai mestinya dikarenakan adanya kekosongan hukum. Prof.Ahmad Ali dalam bukunya “Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan” menjelaskan aturan hukum adalah penuntun perilaku hukum (guiding behavior of law).
Adanya kekosongan hukum terhadap pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI untuk diselesaikan di peradilan umum harus segera dijawab oleh pemerintah dengan melahirkan UU tentang Peradilan Umum TNI.
Lahirnya undang-undang sangat diharapkan ke depannya dan harus berlaku terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian juga. Sebab dengan tindakan represif yang kerap terjadi dan penyiksaan dalam proses interogasi di negeri ini, sering dilakukan oleh oknum kepolisian.
Oleh karena itu, gagasan ini diharapkan bisa mewakili suara rakyar yang ditujukan kepada pemerintah sebagai tanda keseriusan melahirkan hukum yang progresif dan mampu mewujudkan amanat konstitusi. Pemenuhan Hak Asasi Manusia sebagai bagian dari negara hukum. Jika memang ini mampu diterapkan, ke depannya tidak akan ada lagi terdengar atau terlihat di media sosial menyoal permasalahan dianggap selesai hanya dengan klarifikasi permintaan maaf dari mereka yang telah merenggut hak asasi orang lain.
Penulis Khulaifi Hamdani,
Merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Unhas, angkatan 2020.
Referensi :
Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence). Pranamedia. Yogyakarta.
Irwansyah.2020. Refleksi Hukum Indonesia. Pranamedia. Yogyakarta.
Wijaya. 2021. Kasus Injak Kepala Warga Papua: Pemecatan Pejabat TNI Disebut ‘Tak Cukup’, Selesaikan kasus di Pengadilan. Berita Online BBCIndoensia.com. Diakses pada 28 Juli 2021 melalui: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-57967280.amp
Adyatama. 2021. Anggota TNI AU Injak Kepala Warga Papua, Veronica Koman: Tak Cukup Minta Maaf. Koran Nasional Tempo.co. Diakses pada 28 Juli 2021 melalui: https://nasional.tempo.co/read/1488223/anggota-tni-au-injak-kepala-warga-papua-veronica-koman-tak-cukup-minta-maaf