Membangun usaha “Banua Coffee”, wujud meningkatkan perekonomian petani kopi di Desa Boneposi.
Andi Ahmad Amiruddin, begitulah nama lengkap dari perintis usaha “Banua Coffee”. Nama Banua sendiri terinspirasi dari daerah asalnya, Banuaposi yang sekarang dikenal dengan sebutan Boneposi, Kecamatan Latimojong, Luwu. Perubahan nama tersebut terjadi karena adanya kesalahan penulisan di pemerintahan. Inilah yang mendorongnya ingin mengangkat kembali nama asli daerah tersebut.
Berdirinya usaha itu bermula saat ia akan menyusun skripsi. Alumnus Ilmu Pemerintahan Unhas angkatan 2015 itu mengatakan alasannya meneliti komoditas pertanian.Menurutnya ilmu pemerintahan itu mencakup keseluruhan dan akhirnya ia memilih kebijakan pemerintah terhadap pengembangan kopi di daerah asalnya sebagai fokus penelitiannya. “Kebetulan saya orang dari sana (red: Boneposi) yang memiliki perkebunan kopi yang luas,” ujarnya.
Selain itu, pria kelahiran 16 Maret 1996 ini prihatin terhadap keadaan petani kopi yang belum sejahtera di desanya. Menurutnya, harga kopi di pasaran itu mahal, namun di desanya kopi tersebut dijual dengan harga murah.
“Supaya penelitian saya ini tidak sia-sia dan bisa bermanfaat untuk masyarakat di sana, saya berpikir melakukan pemasaran sendiri agar harga kopi yang dipasarkan bisa memiliki harga jual yang lebih tinggi,” jelasnya.
Anak kedua dari tiga bersaudara ini mengaku, usaha “Banua Coffee” yang ditekuninya sekarang hanya coba-coba. Walau hanya mencoba, ia berharap dengan adanya usaha tersebut mampu mengembangkan perekonomian di daerah asalnya.
Berbekal optimistis tersebut, ia mulai menggeluti usahanya dengan serius pada awal bulan Juli 2019. Membangun usaha yang masih berumur jagung tentunya tidak lepas dari hambatan. Misalnya saja minimnya dana, sulit memasarkan produk, serta pengakuan kualitas produk.
Namun, seperti kata pribahasa, “di mana ada niat di situ ada jalan”. Persoalan dana dan pemasaran produk bisa diatasi dengan bantuan dari keluarga dan teman-temannya.
“Sementara waktu, produk kopi yang dijual yaitu dalam bentuk biji kopi yang telah dipanggang (roasting) dan sasarannya yaitu warkop. Lingkup pemasarannya hingga sekarang adalah daerah Luwu, Pare-pare, dan Makassar,” ungkap putra kedua dari Samperampe.
Sedangkan, upaya dalam meningkatkan kualitas produk sejalan dengan peningkatan proses pengolahannya, seperti proses honey dan full wash. Kedua proses itulah yang terus dikembangkan olehnya.
Lelaki yang tergabung dalam anggota Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu (IPMIL) Unhas tersebut menjelaskan kelebihan kopi yang dipasarkannya. Menurutnya, tempat budidaya biji kopi tersebut berada di ketinggian 1000-1500 mdpl sehingga dapat dikatakan kualitas biji kopi masuk kategori bagus jenis kopi Arabika.
“Biji kopi yang dipilih hanya biji yang merah saja dan rasanya seperti asam jawa,” tambahnya.
Lebih lanjut, anggota remaja Desa Boneposi ini menceritakan perjalanan yang dilalui untuk mengembangkan desanya tidak semulus yang dibayangkan. Sebagai lulusan sarjana Ilmu Pemerintahan, ia merasakan tekanan dari masyarakat di lingkungannya untuk bekerja sesuai displin ilmunya. “Orang tua saya sendiri masih ragu dengan pilihanku,” katanya.
Namun, ia tetap optimis dan berpegang teguh dengan pilihannya sendiri karena menganggap semua itu dilakukan untuk mereka (red: orang tua) juga.
Ketika ditanya tentang kunci dan motivasi dalam mengembangkan desanya, lelaki yang hobi traveling ini mengatakan mendapat inspirasi dari petani di kampungnya sendiri.
“Ada satu kalimat yang saya dapatkan dari petani di sini. Istilahnya, tidak ada petani yang kaya. Nah, inilah mindset petani di sana yang ingin saya ubah bahwa petani pun bisa kaya,” ujarnya.
Sebelum menutup wawancara, lelaki yang terdaftar sebagai anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Unhas. Unhas ini, mengungkapkan pesan-pesan yang ingin ia sampaikan untuk mahasiswa yang sedang melanjutkan studi di perguruan tinggi.
“Meski merasa nyaman di kota baru, kembalilah ke kampung halaman untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh agar daerah ta’ tidak tertinggal,” pesannya.
Erlinda Wulandari