Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, kembali menuai perhatian dari para pemerhati lingkungan dan masyarakat. Pasalnya, peraturan yang resmi ditandatangani pada 15 Mei 2023 ini dianggap telah membuka peluang untuk melakukan ekspor pasir laut. Pemanfaatan hasil sedimentasi berupa pasir laut ini akan mengalami pengerukan dan diangkut ke negara lain untuk dijadikan sebagai salah satu material reklamasi.
Ekspor pasir laut telah menjadi sorotan sejak 20 tahun yang lalu. Kegiatan perdagangan ini sempat mendapat izin, namun telah diberhentikan pada 2003 di masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 117/MPP/Kep/2/2003. Pemberhentian tersebut dilakukan karena adanya ketimpangan rugi yang lebih besar dibanding manfaatnya.
Lantas, akankah ekspor pasir laut ini kemudian kembali merugikan atau justru menguntungkan negara? Reporter PK identitas Unhas, Nabila Rifqah Awaluddin melakukan wawancara khusus dengan Dosen Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Hasanuddin, Dr Mahatma Lanuru MSc, Selasa (04/07).
Bagaimana pendapat anda tentang diterbitkannya peraturan pengelolaan hasil sedimentasi laut yang dianggap dapat menjadi jalan untuk melakukan ekspor pasir laut?
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut sebenarnya tidak mengatur tentang ekspor pasir laut, tetapi memang ada ruang untuk melakukannya. Sepanjang kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti yang dinyatakan dalam pasal 9 ayat 2d.
Menurut saya urgensi pemberlakuan peraturan ini termasuk ekspor pasir laut di dalamnya kurang jelas, karena selama ini permasalahan sedimentasi di laut tidak terjadi pada semua daerah di Indonesia. Tujuan peraturan ini sebenarnya untuk menyelesaikan masalah sedimentasi di beberapa lokasi. Jika tidak dikelola dengan baik maka sedimentasi di perairan bisa menimbulkan beberapa dampak negatif pada air.
Apa dampak yang dihasilkan jika ekspor pasir laut ini kembali dibuka?
Kalau dari hasil sedimentasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk reklamasi, pembangunan infrastruktur, pembangunan prasarana, dan termasuk ekspor pasir laut sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang menjadi kekhawatiran adalah orang akan kembali berlomba-lomba melakukan pengerukan pasir laut di lokasi yang tidak tepat juga dengan cara yang tidak tepat. Pengerukan pasir laut akan menimbulkan masalah lingkungan, ekonomi dan sosial.
Beberapa dampak ekologi dari pengerukan dan ekspor pasir laut adalah terjadinya perubahan bentang alam di dasar perairan yang menyebabkan perubahan pola arus dan transpor sedimen. Menurunnya kualitas atau rusaknya habitat terumbu karang dan padang lamun yang merupakan habitat bagi ikan dan biota laut lainnya. Tak hanya itu kekeruhan perairan akibat pengerukan juga meningkat yang akan membatasi penetrasi cahaya matahari sampai ke dasar perairan dan akan mengganggu daerah penangkapan nelayan.
Apakah mengekspor pasir laut akan mengancam hilangnya suatu pulau khususnya pulau kecil?
Jika ekspor pasir laut tidak dilakukan dengan cara yang benar dan pada lokasi yang benar maka salah satu dampak negatif yang mungkin timbul adalah terjadinya erosi atau abrasi pantai, akhirnya akan menenggelamkan pulau atau pulau menjadi hilang. Pasir di dasar perairan yang mengelilingi pulau kecil adalah pelindung pantai dari energi gelombang dan arus yang kuat. Pasir di dasar bisa menyerap energi gelombang dan melambatkan kecepatan arus yang tiba di pantai sehingga bisa melindungi pulau dari erosi dan abrasi pantai akibat gelombang dan arus yang besar.
Bagaimana sebenarnya proses pengerukan pasir laut yang sesuai?
Pengerukan pasir laut harus dilakukan secara ramah lingkungan pada lokasi yang tepat agar tidak menurunkan kualitas dan merusak lingkungan serta mengganggu daerah penangkapan nelayan. Berdasarkan Keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor 33 tahun 2002 Tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut, prosedur pengerukan pasir laut yang sesuai adalah pelaku usaha harus memiliki izin pemanfaatan pasir laut.
Kemudian melakukan pengerukan dengan alat dan metode pengerukan yang ramah lingkungan dan dilakukan pada lokasi yang tepat yaitu lokasi pembersihan hasil sedimentasi di laut yang telah ditetapkan pemerintah. Terakhir, pelaku usaha yang memiliki Izin wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada pemerintah paling sedikit memuat lokasi dan volume pembersihan hasil sedimentasi di laut, alat pengeruk dan kapal pengangkut yang digunakan, waktu pembersihan hasil sedimentasi di laut, dan daerah atau negara tujuan penempatan pasir laut.
Apa harapan anda terkait kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi yang membuka ruang untuk melakukan ekspor pasir laut?
Pemerintah harus bisa menjelaskan dengan baik dan rasional apa urgensi membuka ruang kembali untuk melakukan ekspor pasir laut. Jika urgensinya tidak bisa dijelaskan dengan baik maka sebaiknya pemerintah meninjau kembali pemberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 untuk menghindari masalah yang mungkin timbul.
Apabila peraturan ini tetap diberlakukan, maka harapan saya adalah pemerintah harus secepat mungkin menetapkan sebaran lokasi prioritas dan volume hasil sedimentasi di laut. Mengawasi kepatuhan pelaksanaan pemanfaatan pasir laut secara ketat untuk memastikan bahwa pemanfaatan pasir laut tersebut dilakukan dalam rangka menjaga daya dukung ekosistem pesisir dan laut, keterpeliharaan ekosistem pesisir dan laut, fungsi alur, dan kepentingan sosial ekonomi masyarakat.
Data Diri Narasumber:
Nama: Dr Mahatma Lanuru MSc
S1: Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin
S2: Marine Science, Aarhus University, Denmark
S3: Doctor in Marine Science, Kiel University, Jerman