Kepala Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI), Bonifacius Riwi Wijayanto hadir sebagai narasumber pada Kuliah Umum 10 Tahun Perjalanan Diplomasi Indonesia di Ruang Senat Lantai 2 Rektorat Unhas, Selasa (20/08).
Pada kesempatan tersebut, Boni menyatakan bahwa dunia saat ini dihadapkan pada istilah jargon VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan disrupsi teknologi. Dinamika geopolitik global akan menjadi tantangan yang harus dihadapi kedepannya.
“Politik luar negeri Indonesia berorientasi pada manfaat nyata (tangible benefit) dan telah menghasilkan beberapa capaian berdasarkan prioritas 4+1,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya membumikan diplomasi kepada masyarakat dengan menurunkan diplomasi multilateral agar manfaatnya dapat dirasakan secara langsung. Boni juga mengungkapkan bahwa diplomasi saat ini tidak lagi identik dengan mengenakan jas saat bernegosiasi.
“Proses diplomasi tidak langsung dirasakan manfaatnya, itu membutuhkan waktu yang panjang,” katanya.
Boni pun merincikan pelaksanaan diplomasi yang membutuhkan proses panjang, seperti pencapaian empat tujuan pembangunan yang diatur oleh undang-undang dengan kebijakan luar negeri (foreign policy) yang baik.
Ia juga mengungkap, pelaksanaan politik luar negeri membutuhkan beberapa aktor yang menjadi instrumen dalam diplomasi seperti, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), 132 perwakilan Indonesia di luar negeri, dan civitas academica.
“Hal ini juga bergantung pada human capital diplomat kita yang kemudian menjadi aktor dalam pembentukan kebijakan luar negeri,” ungkapnya.
Terakhir, ia berharap bahwa Kemenlu akan tetap kuat dengan adanya mesin diplomasi yang berkualitas, dan penerimaan formasi CPNS dapat menjaga kualitas tersebut. Ia berharap alumni Unhas dapat bergabung dengan Kemenlu.
Muh Fadhel Perdana