Tak banyak yang mengenal sosok perancang lambang Unhas, Mustafa Djalle. Ia merupakan putra dari pasangan suami istri HM Tahir dan Hj Aisyah. Mustafa memiliki sembilan orang bersaudara. Kemampuannya melukis telah diakui para pejabat dan masyarakat Sulawesi Selatan. Oleh sebab itu, tak heran bila dirinya dipercayakan membuat lambang perguruan tinggi terbaik di luar Pulau Jawa, setelah sebelumnya mengikuti sayembara.
Mustafa menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya bekerja sebagai penjual bensin, oli, dan alat-alat sepeda. Hidup mereka terbilang mujur dan berkecukupan. Namun tempat usaha keluarganya dibakar oleh segerombolan orang. Bensin jualan disita karena dianggap banyak digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia dalam usahanya menumpas gerombolan tersebut. Sehingga saat itu keluarganya terpaksa memilih pindah ke Makassar dan kehilangan pekerjaan.
Sebagai seniman Mustafa mampu membuktikan bahwa pekerja seni dapat menghasilkan dan membiayai keluarganya. Pada usia yang masih sangat muda, laki-laki kelahiran 10 juli 1935 Jeneponto, Sulawesi Selatan ini harus menjadi tulang pungung keluarga. Ia mengajar pada hampir semua SMP dan SMA negeri dan swasta di Kota Makassar. Sambil membuka jasa permintaan lukisan, yang biasanya dipesan dari orang kaya di Kota Daeng ini.
Pekerjaan sebagai seniman menghasilkan banyak lukisan. Mulai dari lukisan dekorasi pada dinding, bioskop, ruang tamu agar keluarga berselera untuk makan, tempat tidur, ruang makan, lukisan hadiah pernikahan, dan semacamnya.
Berkiprah di dunia seni membuat Mustafa tidak segan untuk menularkan ilmunya kepada anak muda. Banyak pelukis muda yang lahir dari didikannya. Mustafa memang pernah mendirikan Akademi Seni Lukis Makassar bertempat di rumah Henk Rondonuwu dan kini telah berubah mejadi Kantor Asuransi di Jl Sudirman.
Keseharian Mustafa sebagai seniman kala itu, seperti mengadakan pameran lukisan di Harmoni Society . Aksara Lontara serta menjadi pengelola koran Indonesia Pos yang terbit setiap pekan. Belum lagi kesibukan di berbagai tempat lainnya yang sangat padat.
Mustafa terbilang menyalurkan segala potensinya, sehingga alpa menjaga kesehatan dan akhirnya tubuhnya menjadi inang bagi penyakit kronis. Di mata keluarga Mustafa memang dikenal sebagai perokok kelas berat. Dalam sehari ia mampu menghabiskan beberapa bungkus. Terutama di tengah-tengah kesibukannya merampungkan order lukisan, hal ini tentu tak lepas agar aspirasinya tetap awet saat melukis.
Sayangnya perancang lambang Unhas ini wafat di usia yang masih sangat muda, 33 tahun. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1968 di tengah produktifitasnya yang sedang naik daun.Walau sempat dirawat selama beberapa minggu di Rumah Sakit Akademis, kanker paru-paru dan lever akhirnya merenggut nyawanya. Semasa hidupnya ia menyembunyikan penyakitnya karena tidak ingin membuat orang-orang yang dicintainya bersedih. Kepergianya memberikan duka mendalam bagi keluarga, ia ibarat pohon besar dan kukuh tepat berteduh dari panas dan hujan. Secara ekonomi, dia adalah tulang punggung, juga pengayom, pendidik dan kebanggaan keluarga.
Tempat Pemakaman Umum Panaikang menjadi rumah terakhir sang seniman. Sekitar 47 mobil memenuhi ruas jalan menjadikan lalu lintas macet total. Tentu pada tahun 1968 jumlah kendaraan tersebut sangat fantastis. Hampir seluruh pejabat tinggi di Makassar menghadiri peristirahatan terakhirnya.
Mulai dari Gubernur saat itu Ahmad Lamo, sekertaris daerah, anggota dewan, walikota serta muspida dan wartawan. Bahkan dalam sambutan Wali Kota Makassar yang saat itu dijabat Dg Patompo, mewakili Gubernur yang saat itu sedang dalam perjalanan pulang dari perjalanan dinas dan baru bergabung saat pemakaman hampir bubar. Wali Kota mengatakan bahwa Mustafa memiliki andil yang sangat besar terhadap pembangunan di Makassar terutaman di bidang keindahan dan taman kota.
Tak hanya lukisan, Mustafa Djalle juga merupakan pembuat lambang Unhas, Lambang Kabupaten Jenneponto, Lambang Kabupaten Gowa, Lambang Kodam Wirabuana dan telah berubah nama menjadi Kodam XIV Hasanuddin. Pernah pula Mustafa akan dikirim ke Kanada untuk mengikuti lomba karikatur sedunia, mewakili Koran Harian Pedoman Rakyat. Sayang tak berjalan mujur, lantaran acara dibatalkan akibat meletus perang Israel dengan Mesir waktu itu.
Mustafa menikah dengan Indriani Feybe Godeus seorang keturunan Jerman. Dari pernikahannya mereka dikaruniai empat orang anak. Berturut-turut Arman Sejahtera Djalle, Radita Nur Damsey, Radita Nur Damesy, Tri Lana Aksari dan Indriani. Saat Mustafa berpulang, anak bungsunya Indriani masih dalam kandungan.
Sebelum bekerja di aksara Lontara Mustafa bersama rekannya Palangkey Dg Lagu pernah mendirikan Pabrik Klise Sejahtera, yang belakangan ia tinggalkan akibat berbeda pendapat dan usaha itupun bubar. Sebagai seniman, ia memang dikenal sangat perasa terhadap keluarga dan teramat peduli yang bahkan orang-orang nilai sebagai hal-hal kecil.
Bila tiba bulan puasa, dia selalu menyempatkan diri di tengah kesibukannya untuk berbelanja ikan di Pelelangan Rajawali untuk dibagi-bagikan untuk keluarganya. Dia sosok yang hangat dan penuh maklum terhadap kenakalan-kenakalan kecil adik-adiknya. Menurut adiknya Razak Djalle, Mustafa tidak pernah marah ketika Razak merusak sepatu buatan Hongkong yang sangat disayanginya, gara-gara adiknya itu hendak tampil modis di depan kawan-kawannya. Bahkan uang yang hilang di dompetnya pun tak pernah menjadi persoalan. Ia telah mahfum bahwa pasti perbuatan tersebut dilakukan adik-adiknya yang ingin menambah uang jajan di sekolah.
Di mata saudaranya, Mustafa dikenal sebagai sosok yang suka memberdayakan adik-adiknya dengan mengikutsertakan saudaranya untuk membantu pekerjaannya. Masih melekat di memori Razak, detik-detik berpulangnya Mustafa, dia sempat melambaikan tangan sebagai isyarat agar Razak mendekat kepadanya, Mustafa membisikkan sesuatu dan menatap dalam-dalam Razak. Sesaat kemudian kepalanya terkulai lalu menutup mata dan melukis senyum di lekuk bibirnya.
Reporter: Andi Ningsi