Mengenali diri sendiri, kemudian rela dan secara iklas menjadi sukarelawan.
Udin Shaputra Malik (32), seorang dokter alumnus Universitas Hasanuddin berprofesi sebagai pengusaha dan aktif terlibat menjadi relawan. Pria yang akrab disapa dr Udin ini telah terjun belasan kali sebagai relawan tenaga medis.
Ketika diwawancarai oleh identitas Unhas, pria kelahiran Polewali Mamasa (Polmas) 1989 ini mengaku alasan masuk Fakultas Kedokteran atas permintaan orang tuanya. “Mendaftar di kedokteran sebenarnya atas pintah orang tua, saya anak bungsu dan saudara belum ada yang kuliah di kedokteran, jadi diminta masuk kedokteran,” imbuhnya.
Selama menempuh pendidikan, ia kemudian bergabung dengan Tim Bantuan Medis (TBM) Calcaneus Fakultas Kedokteran Unhas. Organisasi kemahasiswaan yang berfokus pada proyek kemanusiaan seperti volunteer. Di sinilah ia pertama kali terjun ke lapangan sebagai tim medis, berlatih menangani korban yang terluka atau pun sakit, bahkan membagikan bantuan sampai membangun tenda pengungsian.
Ia mengungkapkan, ketika lebih sering terlibat di lapangan ada banyak ilmu dan pengalaman yang bisa diperoleh. Meskipun di tengah–tengah kesibukannya menyelesaikan perkuliahan kala itu.”Jangan sampai suatu saat kita terkena bencana lalu tidak ada yang tolong, jadi kita menempatkan diri di posisi mereka,” ujar Malik saat ditanyai alasannya.
Tahun 2012, berkat ketekunannya dalam belajar, ia berhasil menyandang menjadi wisudawan terbaik FK Unhas dengan predikat Summa Cum Laude. Perjalanan kariernya tidak berhenti di situ, setelah meraih gelar dokter, ia tetap aktif sebagai relawan medis, di antaranya gempa di Lombok 2018, tsunami di Banten 2018, gempa dan tsunami di Palu 2018, banjir bandang di Masamba Luwu Utara 2020, banjir bandang di NTT 2021, dan sebagainya.
Pengalaman yang paling berkesan, saat ia menjadi relawan dalam bencana gempa dan tsunami di Palu 2018. Di tengah malam yang gelap gulita dengan penerangan seadanya, ia membantu seorang ibu melahirkan bayi kembar. “ Waktu itu suasananya sangat epik, ibu ini melahirkan dalam tenda pengungsian berbekal alat seadanya, penerangan pun hanya senter, dan ibunya bermandikan darah, momen ini betul-betul tidak bisa dilupakan,” kenangnya.
Dari banyaknya lokasi bencana yang pernah dikunjungi, berbagai kendala pun telah ia lewati. Tak jarang, kondisi lingkungan pascabencana tidak mendukung, seperti sulitnya mencari air, listrik yang padam, kekurangan makanan. Salah satu yang paling sulit adalah menghadapi masyarakat yang tengah dalam kondisi sulit. Perbedaan pendapat pun kerap kali muncul lantaran masyarakat yang mempertahankan ego sektoralnya.
Hingga saat ini, ia masih aktif sebagai relawan di program Makassar Recover yang dicanangkan Pemerintah Kota Makassar. Selain itu, ia menjalankan usaha klinik kecantikan, juga perusahaan konstruksi. Metode yang ia terapkan agar semuanya dapat berjalan, yaitu dengan membentuk dan melibatkan tim. “Bagaimana agar ketiganya bisa jalan maka harus punya tim dan harus dididik untuk mandiri, tahu apa yang harus mereka kerjakan, mengerti mengerjakannya, sehingga kita tinggal memonitoring,”ungkapnya.
Tak ketinggalan dr Udin menceritakan jika sering kali banyak orang yang ingin terjun sebagai relawan namun tidak memiliki skill. Di lain sisi, ada juga yang memiliki bakat namun terlalu pelit dan perhitungan, terkadang orang-orang ini lebih berorientasi kepada materi yang bisa diperoleh dibanding kerelaan terjun sebagai relawan. “Jangan sampai ada yang turun sebagai relawan bencana tapi pas turun karena tidak tahu spesifikasinya justru hanya jadi beban tim,” imbaunya.
Permasalahan lainnya yang sering muncul melibatkan masalah koordinasi dan misskomunikasi. Untuk itu, ia menyarankan sebelum terlibat sebagai relawan terlebih dahulu mengenali diri sendiri, yang kedua, rela dan mau secara iklas menjadi relawan.
Walaupun perjalanannya tak selalu mulus, ia bersyukur keluarganya selalu mendukung dan memberikan semangat terbaik.
Oktafialni Rumengan