Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia menyelenggarakan “Pelatihan Hak Perempuan dalam Bencana dan Konflik” di Aula Fachruddin, Sekolah Pascasarjana.
Pada hari pertama, acara ini diisi dengan materi seputar hak dan nasib yang dirasakan sejumlah perempuan dan anak di daerah bencana dan konflik. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi untuk mengambil kebijakan terhadap masalah tersebut.
Dalam kesempatannya, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Provinsi Sulawesi Selatan, Hj Sarlin Nur SE MM, menyampaikan bahwa kasus kekerasan perempuan dan anak berjumlah 154 sepanjang tahun 2018 di kabupaten atau kota yang terlapor.
“Untuk tahun 2019 kurang lebih 87 kasus kekerasan ini kebanyakan dialami oleh anak-anak, kekerasan seksual sebanyak 70 kasus, serta Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebanyak 45 kasus,” jelasnya, Selasa (23/7).
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, kasus kekerasan tertinggi terjadi di Toraja, Soppeng dan Kabupaten Gowa. Hal itu terjadi karena pengasuhan anak yang kurang baik. Dalam menangani kasus tersebut, PPA menjadi wadah pengaduan, penjagaan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pedampingan korban.
“Semoga UPTD PPA akan lebih dekat dengan masyarakat untuk mengurangi angka kekerasan, selain itu juga bisa mencegah tindakan kekerasan bagi anak dan perempuan,” harap Sarlin.
Pada kesempatan yang sama, Asisten Deputi Perlindungan Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus, Nyimas Aliah SE MIKOM juga bercerita mengenai kerentanan perempuan pada kondisi khusus seperti bencana alam atau berada di daerah konflik.
“Indonesia adalah ‘supermarketnya’ bencana dan rawan terjadi konflik sehingga perempuan rentan mengalami kekerasan, pemerkosaan, penyiksaan, ancaman dan penyanderaan,” tutupnya.
Santi Kartini