Secara global, kanker merupakan jenis penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian. Pada tahun 2018, terdapat sekitar 18,1 juta kasus baru dan 9,6 juta kematian yang disebabkan oleh kanker di seluruh dunia. Menurut data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2019, kanker paru, perut, hati, kolorektal, dan kanker payudara merupakan jenis kanker yang menjadi penyebab terbesar kematian setiap tahunnya.
Penyakit kanker juga dikenal sebagai salah satu penyakit katastropik, yakni jenis penyakit dengan biaya pengobatan mahal dengan jumlah penderita yang cukup besar serta risiko kematian yang tinggi. Ketika seseorang didiagnosis menderita penyakit kanker dan menjalani rawat inap, maka konsekuensi finansial merupakan beban yang harus ditanggung oleh pasien.
Sebagian besar penderita kanker harus merelakan tabungan mereka sebagai biaya pengobatan dan berakhir dengan kebangkrutan dalam mempertahankan kualitas hidup. Kebangkrutan atau financial hardship didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana pasien harus menghabiskan sekitar 30% atau lebih dari anggaran rumah tangga dan uang saku mereka untuk biaya pengobatan kanker.
Selain ketidakstabilan finansial dan penurunan kondisi fisik, penderita penyakit kanker juga kerap menunjukkan berbagai simtom depresi pada tiap tahap perkembangan penyakitnya. Dimulai saat diagnosis dan vonis penyakit, selama proses pengobatan, bahkan setelah menjalani pengobatan.
Kesedihan dan kekhawatiran adalah respon yang kerap hadir pada diri penderita, hal tersebut didasari oleh stigma yang melekat pada penyakit kanker itu sendiri, yakni berupa ketakutan akan kehilangan kemampuan bahkan berujung kematian.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Zuardin, Alumni Mahasiswa Pascasarjana program studi Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (Unhas) melakukan penelitian dengan mengangkat judul “Kemampuan Mengendalikan Stres pada Penyakit Kanker dalam Situasi Kebangkrutan (Financial Hardship) dan Tekanan Psikologis” sebagai disertasinya.
Ia menyampaikan alasan mengangkat topik ini, berawal setelah membaca referensi terkait kasus kanker yang terjadi secara global yang jumlahnya cukup banyak. Adapun secara metedologi, kasus serta pengalaman empiris hal ini menarik untuk diteliti.
“Awalnya saya tidak berniat mengambil studi kasus ini. Akan tetapi saat menjalani program S3, saya sempat menemani orang tua yang sedang berobat di rumah sakit Unhas yang juga menderita penyakit kanker,” tuturnya saat diwawancarai via telepon pada Senin,(18/3).
Dosen Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya ini, menyampaikan bahwa meskipun kanker memiliki kemungkinan besar untuk berakhir pada kematian, tetapi terdapat beberapa situasi di mana pasien dapat bertahan lebih lama untuk bertahan hidup. Salah satu hal yang menyebabkan penderita dapat bertahan adalah faktor psikologis.
Menurutnya, orang yang menderita penyakit kanker dan menggunakan biaya sendiri tentunya akan mengalami kesulitan ekonomi mengingat pengobatan biaya kanker yang begitu mahal. Salah satu contohnya, yakni proses kemoterapi, yang bahkan bisa dilakukan hingga 2 kali seminggu.
Financial hardship yang dialami penderita mampu meningkatkan stres atau beban psikologis dan berpengaruh terhadap perkembangan penyakit kanker yang diderita. Dalam disertasinya, Ia juga menjelaskan bahwa terdapat dua hal yang dikembangkan oleh survivor dalam menghadapi penyakit mereka, yakni problem focused coping dan emotional focused coping.
“Mekanisme coping saat menghadapi tekanan hidup diawali dengan emotional coping, yakni pikiran tentang bagaimana penyelesaian masalah tersebut. Akan tetapi, pada mekanisme selanjutnya terdapat dua tipe orang yang berbeda. Pertama, orang yang ketika mengalami masalah tersebut ia lantas melakukan problem focused coping yakni tindakan dalam mencari solusi dari permasalahan,” jelasnya.
Tipe kedua adalah orang yang terus berlarut-larut memikirkan permasalahan tersebut tanpa disertai tindakan apapun. Saat berada pada fase emotional coping seseorang dapat berdoa dan berusaha menenangkan diri, tetapi ada mekanisme selanjutnya, yakni mencari solusi.
Oleh karena itu, mereka yang bertahan lebih lama adalah mereka yang mampu mencari jalan keluar atas apa yang mereka alami, bukan sebatas stress tanpa adanya tindakan atas permasalahan tersebut.
Selain itu, social ecological modeling, salah satu dukungan yang cukup baik bagi penderita. Semakin kuat kekerabatan yang terjalin antara survivor dengan keluarga serta kerabat, maka semakin mempermudah pembentukan mekanisme coping tadi. Dalam konteks penyakit kanker, dukungan yang diberikan ini sangat berdampak baik bahkan mendukung survivor utuk bertahan hidup lebih lama.
Selanjutnya, Zuardin juga menuturkan bahwa deteksi dini adalah suatu langkah awal yang begitu penting sehingga penyakit kanker dapat dicegah dan diobati lebih awal. Akan tetapi, meskipun sebagian besar masyarakat telah memiliki asuransi kesehatan, namun keterbatasan dalam mengakses layanan kesehatan dengan baik sebagai dampak dari ketidakmerataan pembangunan masih menjadi permasalahan utama di Indonesia.
“Saya berharap pemerintah memiliki formulasi kebijakan yang tepat untuk mempromosikan langkah pencegahan penyakit kanker yang berisifat lebih relevan, sehingga mampu meningkatkan partispasi masyarakat dalam proses pengendalian penyakit kanker,” harap Zuardin.
Nurjihan Shahid