Almarhum merupakan maha guru dalam Bidang Elektronika spesialiasi Opto Elektronika. Orang ke-4 di Fakultas Teknik yang meraih gelar doktor di luar negeri pada masanya.”
Tidak cukup dua minggu terakhir, tiga guru besar Unhas berpulang. Setelah Prof Dr dr Nur Aeni Malawat A Fattah Sp KJ (K) A & R dan Prof Dr Rahmat M Si Selasa (12/1) menyusul Prof Dr Ir Muhammad Tola M Eng meninggalkan kita semua di buana yang fana ini. Sivitas akademika Kampus Merah berduka cita atas kepergian mereka. Almarhum Muhammad Tola, seorang guru besar yang semasa hidupnya tenang dan gaul.
Dilahirkan di Mare, Bone 1 Agustus 1946, almarhum termasuk guru besar senior. Pertama menyandang jabatan akademik tertinggi itu terhitung 1 Juli 1999, almarhum merupakan maha guru dalam Bidang Elektronika spesialiasi Opto Elektronika.Almarhum meraih insinyur pada Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Unhas 1975 dengan mempertahankan skripsi berjudul “Tenaga Mikro Hidro untuk Elektrifasi Desa.” Tujuh tahun (1982) kemudian dia meraih gelar magister (Master of Engineering) di Universitas Kagoshima Jepang, yang terletak di penghujung barat daya Pulau Kyushu.
Dalam waktu tiga tahun (1985), almarhum berhasil meraih gelar doktor (Philosophy of Doctor) dengan judul disertasi “Study of Model Equation of Flourescent Lamps.” Setelah kembali ke Kampus Baraya (waktu itu belum pindah ke Tamalanrea), almarhum aktif mengajar sebagai doktor baru, gelar akademik tertinggi yang belum banyak dimiliki sejumlah fakultas di Unhas, termasuk Fakultas Teknik.
Saya mencatat, Muhammad Tola merupakan orang ke-4 di Fakultas Teknik yang meraih gelar doktor di luar negeri pada masanya. Dosen pertama Fakultas Teknik Unhas yang meraih gelar doktor (di Jepang) adalah almarhum Dr Ir Haruna Mappa M Eng.
Saya memiliki kenangan menarik dengan almarhum pada tahun 1994, bersama-sama dengan beberapa mahasiswa dan alumni Keluarga Mahasiswa serta Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA PBS) Unhas menghelat Bakti Sosial di Timor Timur.
Dari Makassar, di antara para dosen yang ikut selain almarhum, ada Ir Syahriady Kadir Ir Toban Batosamma Ir JB Manga dan saya sebagai wartawan. Selebihnya ada beberapa mahasiswa dari berbagai fakultas. Juga tiga orang mahasiswa asal Timor Timur.
Dari Makassar ke Dili kami menumpang KM Kelimutu yang memang berlayar hingga ke ibu kota Timor Leste itu. Saat transit di Kupang, saya bersama lima orang lainnya, turun jalan-jalan di Maumere, kota yang saya “tinggali” selama seminggu ketika gempa bumi berkekuatan 7,2 SR dan tsunami hebat di daerah itu pukul 13.20 Wita 12 Desember 1992. Namun apesnya, saat ingin melanjutkan perjalanan, kami terlambat naik ke kapal. Teman-teman di atas kapal sempat “memprotes” bahwa ada teman mereka yang ketinggalan, namun kapal tetap melaju ke utara timur laut, menuju Dili.
Tidak ada pilihan lain, kami berlima jalan darat menumpang sebuah kijang yang dicarter menuju Larantuka, kota pelabuhan di ujung timur Pulau Flores. Di situ ada feri yang akan ke Kupang dan kami dapat tumpangi. Kami sempat menginap semalam hingga pukul 13.00 keesokan hari, kami berlayar dengan terpaan angin laut yang membuat kami menggigil sepanjang malam karena hanya bermodalkan pakaian di badan tanpa jaket sama sekali. Saya terpaksa membungkus tubuh dengan koran saat berbaring.
Siang hari, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki bus tiga perempat di Terminal Sasando, Kupang, kami menuju Dili. Setelah meluncur tanpa henti, bus tiba di Asrama TNI Komoro, Dili pukul 22.00. Kami disambut bagai pejuang yang baru pulang dari medan perang.
Kami selama dua minggu di Timor Timur. Prof Dr Ir Radi A Gany (alm.) atas nama Rektor Unhas menyerahkan rombongan Bakti Sosial KMA PBS ini kepada Pemprov Timtim secara simbolis disertai beberapa ton beras yang ikut bersama KM Kelimutu untuk warga Timtim. Setelah beberapa hari di Dili, kami bergeser ke Manatuto, salah satu kabupaten di bagian timur Kota Dili. Lantaran tidak ada hotel di kota ini, kami berbaring saja di ruang Kantor Bupati Manatuto yang kosong dengan tikar plastik. Kami harus bangun cepat setiap pagi hari kerja, karena keesokan harinya karyawan Pemkab Manatuto akan berkantor. Akan halnya dengan mahasiswa perempuan, mereka diinapkan di rumah salah seorang pejabat Camat setempat atas jasa baik almarhum Muhammad Thoriq Husler, Bupati Luwu Timur (Terpilih periode II),
Dari Manatuto kami bergerak melaksanakan bakti sosial ke beberapa desa dikawal seorang petugas keamanan berpakaian preman yang membekali diri dengan dua senjata pistol. Kami menumpang dua truk tentara, dimana masing-masing memuat 2 ton beras untuk masyarakat yang akan didatangi. Komunikasi waktu itu menggunakan “single side band” (SSB) antara tempat berangkat dan di lokasi tujuan. Pada kedua truk tidak ada alat komunikasi. Belum sampai ke tujuan, truk yang saya tumpangi dengan Lucio pecah ban, sementara truk pertama terus melaju.
Hari sudah mulai gelap ketika truk yang saya tumpangi dengan Lucio bergerak. Saat menuruni tebing kecil sebuah sungai kering, beberapa orang laki-laki melompat naik di bagian belakang truk, Lucio, teman asal Timtim yang duduk di depan bersama saya dan sopir terlihat gelisah.
“Ada apa Lucio,” tanya saya.
“Tidak, saya kira tadi itu anggota klandenstein yang mau menjarah muatan truk,” kata Lucio yang membuat saya terdiam kemudian merasa ngeri.
Ketika hendak memasuki jalan hutan di tepi sungai kering kedua, beberapa pria bersenjata muncul dari balik semak. Kembali Lucio gelisah dan saya juga ikut terpengaruh karena melihat mereka yang bersenjata. Hanya saja, pengemudi yang juga prajurit agaknya mengenal mereka sebagai teman-temannya. Malam itu, ketika kami bertemu dengan masyarakat setempat dikawal beberapa orang tentara, Lucio berpidato dalam bahasa Tetun dan diterjemahkan lagi.
“Kami mahasiswa tidak tahu urusan politik, datang di sini bertemu bapak-bapak dan ibu-ibu, membawa bantuan beras untuk warga di sini,” kata pria bertubuh sekitar 160 cm ini.
Setelah menuntaskan tugas di Timtim, saya kembali ke Makassar seorang diri karena mau mampir di Pante Makassar, daerah tempat para nelayan Makassar singgah mengisi air sebelum melanjutkan pelayaran memburu teripang di perairan Australia beberapa abad silam. Rombongan besar menyusul di belakang dan kembali ke Makassar menggunakan pesawat atas jaminan Rektor Unhas Prof Dr H Basri Hasanuddin M A.
Ketika saya masih aktif dan berkantor di Rektorat Unhas, hampir setiap hari saya selalu bertemu dengan almarhum Muhammad Tola. Pada kesempatan inilah kami selalu bernostalgia mengenai lawatan Bakti Sosial ke Timtim yang bersejarah itu. Dia juga selalu tanyakan di mana Oyang Orlando, lelaki Timor Timur berambut keriting (pastilah) bertubuh kecil padat yang bila berbicara sangat berapi-api. Saya menjelaskan dia bertugas di Takalar, tetapi tidak pernah bertemu.
“Di mana Lucio,” dia beralih bertanya ke pria Timor Leste yang lainnya.
“Kalau yang itu sih sudah balik kampung. Dia sudah jadi pejabat karena memang cerdas dan pintar serta berbakat,” kata saya.
“Bagaimana dengan keadaan Timor Timur sekarang,” usutnya lagi.
“Ya, tentu saja jauh lebih baik dibandingkan ketika masih bagian Republik Indonesia,” jawab saya.
“Bagaimana, kita serang mi’?” usutnya dengan wajah tanpa senyum sama sekali.
“Ya…bagaimana ya,” jawab saya pendek, karena yakin dia hanya becanda karena pertanyaan ini terus berulang setiap kami bertemu.
Selamat jalan Profesor!
M.Dahlan Abubakar.
Penulis merupakan Dosen Tidak Tetap Unhas dan
Penasihat Ahli PK identitas Unhas.
Alumnus Bakti Sosial KMA PBS Timor Timur 1994