“Adorno and Horkheimer claim that culture industry positions the masses ad objects of manipulation (instead of just satisfying their wants and needs)”
Pernah tidak kita menghitung berapa lama waktu yang dihabiskan menggunakan handphone? Atau bertanya kapan sebuah handphone lepas dari genggaman kita? Mungkin jawabannya hampir seragam, ketika sedang tertidur. Tak bisa dipungkiri kalau masa kini alat komunikasi yang dijuluki sebagai ponsel pintar tersebut begitu akrab menemani hari-hari kita. Kalau dulu kita punya istilah teman karib, tempat kita curhat segala macam cerita, sekarang benda ini menggantikan perannya.
Keberadaan benda satu ini menjadikan komunikasi antar manusia tak lagi hanya dibentuk melalui perbincangan langsung tapi lewat media sosial. Akibatnya, kepercayaan antar manusia pun terbangun melalui teknologi. Aplikasi media sosial seperti whatsapp, line, facebook dan sejenisnya yang memberikan fitur telepon video yang tentunya sangat bermaanfaat apalagi mereka yang sedang menjalin hubungan jarak jaruh. Namun, tanpa disadari teknologi ini secara samar tanpa kita sadari telah mendikte masyarakat dalam membangun kepercayaan.
Misalnya saja, pasangan yang sedang menjalin hubungan jarak jauh, tak lagi cukup jika mengabari sang kekasih hanya dengan pesan teks. Bahkan telepon pun serasa tidak cukup menuntaskan dahaga rindu yang membuncah. Namun, bukan hanya itu saja, dalam situasi tertentu, fitur panggilan video membuat sepasang kekasih lebih saling percaya dibanding dua lainnya. Ini seperti kehadiran uang pecahan dua ribuan yang bikin uang seribuan tidak lagi berarti di mata juru parkir.
Teknologi media telah mendefenisikan ulang makna kepercayaan dan membuat orang menjadi mekanistik. Anak muda zaman now sudah kehilangan spontanitas dalam bertindak. Semuanya telah diatur oleh mekanisme teknologi. Media tentu berperan penting sebagai moda penyampai pesan teknologi. Theodore Adorno dan Max Hokheimer menyebutkan bahwa segala presepsi kita tentang dunia adalah apa yang diinterpretasikan oleh media. Industri media telah mengambil peran untuk menginterpretasi bayangan kita tentang dunia.
Masyarakat akhirnya tumbuh menjadi paranoid. Individu-individu berkembang dengan memediasikan kepercayaannya melalui teknologi. Orang tidak lagi akan percaya jika kita mengatakan sedang berada di suatu tempat tanpa mengirimkannya gambar atau video.
Fitur panggilan video bukan cuma berfungsi sebagai ruang tatap gambar jika sedang rindu, namun lebih dari itu seakan menjadi alat kontrol. Alih-alih meraih kebahagiaan setelah berkomunikasi melalui video, fitur ini justru membangun penjara kepercayaan yang diciptakan handphone. Manusia masa kini terjebak dalam angst alias ketakutan dan ketidakpercayaan.
Kalau anda pernah menonton film series Black Mirror, season 1 episode 3, pada episode ini menceritakan bagaimana kepercayaan manusia dikontrol oleh teknologi. Manusia di masa depan digambarkan menggunakan microchip yang dipasang di matanya yang berfungsi layaknya kamera untuk merekam setiap kejadian. Ketika seorang pasangan berbohong tentang sebuah kejadian, kita hanya perlu melihat hasil rekaman di matanya. Ini memang cerita fiksi, tapi imajinasi akan masa depan seperti dalam film ini tentunya kemungkinan besar akan terwujud dengan perkembangan teknologi.
Defenisi kepercayaan berpotensi menjadi seragam seperti yang dibuat oleh logika teknologi. Perkataan Marshall McLuhan dalam tulisannya di buku Understanding Media sepertinya cukup relevan melihat situasi ini. “The Medium is The Message”, medium sebagai sebuah pesan. McLuhan percaya bahwa medium membentuk dan mengkontrol skala dan bentuk asosiasi serta tindakan manusia. Baginya, media itu sendiri jauh lebih penting dibandingkan isi pesan yang disampaikan media tersebut. Di dalam situasi ini, handphone atau fitur panggilan video merupakan medium yang melakukan kontrol terhadap perilaku masyarakat, salah satunya membangun kepercayaan.
Herbert Marcuse mengatakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mestinya menciptakan kebahagiaan dan kebebasan buat manusia. Namun urung terwujud karena ilmu pengetahuan dan teknologi bukannya mengabdi pada manusia tapi malah memperbudaknya. Saat ini smartphone yang semestinya mempermudah komunikasi rupanya secara tidak kita sadari telah menjadi alat kontrol. Fitur canggih seperti panggilan video menjadi alat pembangun kepercayaan antar manusia. Kita bisa melihat bagaimana kapitalisme sekali lagi berhasil memanfaatkan ‘kelemahan’ manusia yaitu kepercayaan. Mereka menciptakan sebuah masalah seakan-akan itu adalah masalah kita dengan slogan “no picture = hoax”.
Masyarakat kini secara tidak sadar tumbuh sekaligus terperangkap dalam kontrol teknologi. Alih-alih mendekatkan yang jauh, fitur panggilan video juga memerangkap kita dalam situasi yang selalu paranoid terhadap sesuatu. Yang mana kita menyerahkan diri pada kepercayaan yang terbentuk atas defenisi teknologi. Segala tindakan, perilaku dan hubungan yang terjalin antar manusia saat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh logika yang dibangun oleh medium berupa teknologi seperti kata McLuhan.
Penulis Khairil Anwar
adalah Alumnus Sastra Jepang Unhas
Angkatan 2009.
Editor : Fransiska Sabu Wolor