Awal tahun 1990-an, penduduk di Muara Kaman, Kalimantan Timur dihebohkan dengan ditemukannya porselin baik utuh maupun pecahan di pinggiran sungai. Benda-benda itu ditemukan tak sengaja setelah bibir sungai tergerus dari waktu ke waktu yang mengakibatkan erosi. Dalam sekejap ribuan masyarakat berdatangan membongkar dan menggali tanah hingga tak tersisa. Siang malam diramaikan para pencari harta karun dan berpeti-peti barang temuan dikapalkan ke luar.
Penggalian harta karun bukan semata-mata karena temuan berbagai macam benda kuno. Misteri Muara Kaman sebagai pusat kerajaan tertua di Indonesia merawat mimpi akan pencarian benda-benda kuno. Nah, cerita bermula dari sini. Penetapan Kutai sebagai pusat kekuasaan politik pertama-tama di Indonesia di selimuti dengan mitos akan besarannya warisan yang terpendam.
Oleh karena itu, awal Oktober 2020, aku berangkat bersama rombongan tim peneliti dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin. Mengunjungi warisan yang terpendam dari kerajaan tertua di Indonesia ini. Tiba disana, kami bergabung dengan tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur.
Dari Kota Samarinda, kami menyusuri Sungai Mahakam sejauh 89 kilometer menuju Kecamatan Muara Kaman. Dahulu masyarakat disana berinteraksi dengan dunia luar menempuh aliran Sungai ini. Muara Kaman diyakini sebagai bekas kota Kerajaan Kutai yang diperkirakan berdiri pada abad ke-4 Masehi. Dikenal sebagai Kutai (kutei) oleh penduduk setempat, kemudian ditambahkan kata Martapura atau Martadi pura di belakangnya, merujuk Gunung Marta pura sebagai pusat dari “istana” kerajaan.
Satu yang pasti, konstruksi masa silam Kerajaan Kutai di Muara Kaman ditentukan oleh peran Sungai Mahakam dalam berdiri, berkembang, dan mundurnya kerajaan itu. Hingga kini, peran sungai tetap dominan sebagai penghubung tempat satu dengan yang lainnya. Di mana menggunakan kapal untuk sarana angkutan jarak jauh, sedangkan perahu ketinting (ces) untuk rute pendek dan menengah, taksi (perahu penghubungan tarkampung), dan ferry (kapal penyeberangan orang, barang dan kendaraan).
Hal itu menunjukkan Kerajaan Kutai terus berlanjut dari abad ke abad, di mana menjadi perlintasan budaya hingga masuknya Islam di Kalimantan Timur. Meski tidak banyak bukti tercatat untuk menjelaskan periode itu, tersisa beberapa cerita lisan yang diwariskan turun temurun seperti legenda Ikan Baung maupun Danau Lipan. Legenda itu menuturkan kehidupan penduduk setempat yang tergantung dari limpahan air Sungai Mahakam, mata pencaharian penduduk, hubungan dengan orang-orang asing, hingga perlawanan atas ekspansi kekuatan luar.
Jika menengok dari jendela hari ini, sangat terasa pengabaian atas situs-situs kerajaan tertua di Indonesia. Walaupun segenap anak negeri mengenal bahkan bangga akan kebesaran Kutai.
Tapi kebanggan itu pasti akan berkurang bahkan sirna jika berkunjung secara langsung di Muara Kaman. Bangunan utama untuk menandai “pusat” kerajaan itu hanya sebuah museum yang tidak terurus. Pusat kota raja di Benua Lawas atau Bukit Berubus tidak dikonversi menjadi kawasan “ibu kota” tertua Indonesia.
Apalagi pemerintah pusat dengan narasi sejarah nasionalnya memproklamirkan kawasan ini sebagai pusat kekuasaan pertama di Indonesia, namun tidak bertanggung jawab merawat dan membina ingatan itu. Tidak hanya perhatian pada revitalisasi secara fisik dan lingkungan saja, tapi narasi pun harus dijaga dengan aktivitas yang mendukung. Seperti “ekspedisi negeri tertua” dengan menyusuri Sungai Mahakam dari hilir ke hulu, dan kegiatan semacamnya.
Tanpa perhatian seperti itu, negeri ini tetaplah bangsa yang kerdil, membangun kejayaan masa lalunya hanya di atas kertas dengan cerita sejarah semata. Tetapi tidak pernah meresapi dan menyelami makna yang dibangun dan dikonstruksinya sendiri.
Di wilayah pertemuan 3 sungai, kami menghela nafas untuk meninggalkan negeri indah ini. Berharap ada penelitian yang komprehensif atau multidisiplin di kawasan ini. Beriring dengan penataan dan pembangunan fisik untuk memperlihatkan kebesarannya, sebagaimana yang tercatat dalam buku-buku teks pelajaran sekolah. Tanpa itu kebanggaan, kecintaan, bahkan kepercayaan akan narasi besar itu akan tergerustak tersisa di masa mendatang.
Maka dengan itu mengunjungi Kutai, orang dapat mengenal seluruh Bangsa Indonesia, sebagai kerajaan pertama di bumi Nusantara. Selain destinasi yang sangat menarik juga mencakup tinggalan arkeologi dan sejarah yang kaya. Serta pengalaman melalui landscape kalimantan yang menantang, baik melalui jalur sungai, darat, hingga berjalan kaki.
Penulis Ilham Daeng Makkelo,
Dosen Departemen Ilmu Sejarah,
FIB Unhas.