Kala itu, orang berlalu-lalang memadati Stasiun Serang. Lonceng penanda kedatangan kereta lokal rute Merak-Rangkasbitung terdengar di telinga para penumpang. Satu, dua, tiga… kemudian berlari memastikan diri tak ketinggalan. Ketika berhasil menggapai peron, deru nafas itu kembali normal.
Ekonomi 3 kursi 19 C. Begitu yang tertulis di tiket. Pak petugas menginstruksikan untuk duduk sesuai kursi. Suasana gerbong begitu ramai, ada anak sekolah yang menenteng tas di punggungnya. Ada mahasiswa dengan sejumlah tas tenteng, tak lupa masker di wajahnya – pikirku mereka pulang kampung. Ada juga ibu-ibu membawa anak kecil didudukkan di pangkuannya, serta lansia yang sibuk memperhatikan keadaan sekitarnya.
Perjalanan mendadak itu rupanya tak sesepi yang kuharapkan. Aku memasang alat pendengar nirkabel harga tiga puluh ribuan, berharap tak ada orang yang mengajakku berbicara. Tetapi rasanya alat pendengar itu lebih menarik perhatian.
“Adek, headset-nya beli di mana?”
Aku menoleh, memastikan ada orang yang memanggilku. Benar saja, ibu dua anak itu, dengan suami di sampingnya melirik ke arahku.
“Iye.. iya, Bu. Saya belinya di toko oren,” jawabku yang hampir saja memakai logat Makassar.
“Adek mau ke mana? Sendirian aja?”
Kupikir mereka hanya sekadar menanyakan tempat belinya. Mungkin raut yang tampak di wajahku mengundang rasa iba.
“Saya mau ke Jakarta, Tante. Pengen jalan-jalan sendiri aja, habis kuliah.”
Aku tak berbohong. Perjalanan itu memang punya tujuan, tapi aku pun tak yakin ingin ke mana saat tiba di sana. Sekitar 30 menit berlalu dan harus berganti kereta, aku tiba di Stasiun Rangkasbitung yang ramai seperti biasanya. Rasanya bernapas lega ketika keluar dari kereta lokal yang pengap, menuju KRL (kereta rel listrik) tujuan akhir Stasiun Tanah Abang.
Aku duduk dekat sandaran besi di samping pintu otomatis. Tempat yang strategis untuk bersandar walaupun sedikit rawan. Hanya berselang 15 menit, KRL itu akhirnya berangkat, dengan suasana yang tak seramai kereta lokal yang kutumpangi sebelumnya.
Biasanya, orang-orang yang kulihat di beranda media sosial meromantisasi dirinya dengan menikmati setiap pemberhentian stasiun. Ingin kutiru, tapi rasanya tidak sesuai keadaanku sekarang. Pikiranku kalut, sedikit menyesal melakukan perjalanan ini. Tapi apalah daya raga ini sudah berada di tengah jalan.
Alat pendengar nirkabel masih setia menempel di telinga. Kali ini lagu yang dimainkan berjudul “Softcore” oleh The Neighbourhood. Sebuah lagu dengan lirik yang menyakitkan, ditambah melodinya yang pas untuk orang depresi.
Penumpang demi penumpang silih berganti mengisi kekosongan gerbong, khususnya di Stasiun Serpong. Ada yang datang, ada yang tiba, ada yang hanya membenarkan posisi duduk atau sekadar merenggangkan badan. Mayoritas penumpang itu bermata layu dihiasi tali warna-warni di lehernya. Sudah kuduga, mereka budak korporat.
Orang-orang tampak sibuk dengan dunianya masing-masing. Pikirku, jika aku menangis sekarang apakah ada orang yang akan peduli? Tapi sepertinya tidak, karena sampai di stasiun akhir pun egois itu nyata.
Rasanya aneh ketika sampai di Stasiun Tanah Abang. Saat KRL tiba, orang-orang dengan tujuan Manggarai berlarian bak atlet. Mengingat viralnya Manggarai yang padat penumpang transit dan katanya selalu saja bermasalah.
Aku tiba di Jakarta. Sama seperti yang kulihat di layar ponsel, kota itu bergemilang cahaya lampu yang memanjakan mata. Bangunan megah tinggi menjulang, mobil-mobil mewah melintasi jalan raya, hingga pemandangan masyarakatnya bak pagelaran busana. Tapi hal yang paling kukagumi adalah akses transportasi mudah dan orang-orang individualis, mereka memberi ruang untuk orang yang sendirian.
Tak banyak tempat yang kudatangi, tapi halte adalah tempat andalanku. Meski rute bus Transjakarta terlihat memusingkan, tapi berkeliling tanpa tujuan bukan pilihan buruk. Walaupun ramai, tetap saja mereka masih memegang teguh egois itu.
Terlihat di ujung atas bus, menampilkan pemberhentian selanjutnya Halte Bundaran HI Astra. Aku memutuskan turun di sana, karena dekat dengan stasiun MRT. Desain haltenya yang punya dua lantai cocok untuk merenung, memandang dari dekat Bundaran HI, di sampingnya terdapat Plaza Indonesia dan Grand Indonesia.
Aku menghela nafas, menyadari bahwa sedari tadi tak ada senyum di wajahku. Duduk selama dua jam, menunggu hingga malam tiba. Aku masih termenung dan isi pikiranku bertarung. Tanpa bersuara, air mata itu terjatuh deras.
Mungkin hal ini terdengar gila, menangis sebab jauh dari jangkauan orang yang ia kenal. Sampai ingin melampiaskan di kota seberang, tapi itulah yang kumau. Mungkin saja ada banyak pasang mata yang memperhatikan, tapi aku berusaha menerapkan egois itu.
Hingga kembali pun sisa kesedihan masih ada. Walaupun tak sebanyak dan tak kupikirkan seperti sebelumnya. Malam itu aku sendirian dan masih saja sepi. Kereta yang sama mengantarkanku menuju pulang. Ia menjadi saksi pernah kedatangan seorang gadis yang membawa air matanya.
Nabila Rifqah Awaluddin
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya 2021
Sekaligus Bendahara PK identitas Unhas 2025