Memasuki area kampus, seorang mahasiswa seharusnya menemukan wadah yang ideal untuk tumbuh secara intelektual. Sebuah tempat di mana pikiran berinteraksi dengan buku, ide-ide ilmiah dipertukarkan, dan setiap ruang adalah panggung bagi peradaban akademik yang dinamis.
Namun, bagi sebagian civitas academica Universitas Hasanuddin (Unhas), realitas itu sering kali berbanding terbalik. Sejak awal 2000-an, sebuah fenomena permainan domino mengikis citra ideal tersebut dengan perlahan.
Bukan permainannya yang menjadi masalah, melainkan waktu dan tempat yang tidak sesuai. Budaya itu seolah merasuki setiap ruang, dari koridor hingga ruangan birokrasi sehingga menghilangkan urgensi hakikat dan tujuan utama pendidikan.
identitas melaporkan pada awal Februari 2003, pemandangan sekelompok mahasiswa bermain domino sering terlihat di koridor depan Koperasi Mahasiswa (Kopma). Mereka berkumpul sampai empat orang, bahkan hampir membuat sebagian jalan tertutup di samping tangga menuju perpustakaan.
Seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Nandar mengeluhkan permainan domino mengganggu kepentingan umum. “Kalau main domino, jangan di jalan umum karena mengganggu kepentingan pemakai jalan yang lain,” keluhnya.
Setahun berselang, fenomena ini tidak mengenal libur. Pemandangan di pelataran Baruga AP Pettarani nyaris terlihat setiap hari, tidak terkecuali saat perkuliahan telah libur. Pada akhir Januari 2004, identitas mencatatkan alasan mereka sangat beragam, mulai dari sekadar mengisi waktu luang hingga karena terlanjur ketagihan.
Contohnya seperti Senja Gautama dan Leo. Di masa liburan, Senja mengaku lebih memilih datang ke kampus hanya untuk bermain domino dan berkumpul dengan teman-temannya daripada beristirahat di rumah. Sementara itu, Leo (bukan nama sebenarnya), bahkan seringkali mengabaikan perkuliahannya demi keasyikan bermain.
Di waktu yang berdekatan, identitas edisi awal Februari 2004 kembali menyoroti bagaimana permainan domino berubah menjadi ajang pertaruhan. Di bawah pohon rindang depan Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), beberapa mahasiswa terlihat sangat serius memainkan domino dengan uang sebagai taruhannya.
Permainan judi seolah-olah menemukan sarang yang aman dari pengawasan. Ini adalah bukti nyata bahwa aturan kampus yang tertulis kala itu seolah tidak memiliki taring di hadapan praktik yang terjadi di lapangan.
Kumpulan fakta ini akhirnya mendorong seorang alumni untuk angkat bicara. Faisal, seorang pemerhati Unhas yang saat itu baru menyelesaikan studinya di Pascasarjana, menyampaikan kegelisahannya melalui tulisan di identitas edisi akhir Februari 2004. Ia merasa malu dan risih melihat permainan domino yang marak di koridor kampus.
Menurutnya, Unhas adalah tempat orang-orang intelek. Tetapi, realitanya terbalik, mahasiswa terlalu cuek dan asyik menghabiskan waktu untuk bermain, bahkan lebih parah lagi terjadi saat dosen mengajar.
“Perbuatan bermain domino di tempat yang tidak sepantasnya adalah bukti bahwa etiket yang kita miliki belumlah sesuai dengan jiwa kaum mahasiswa,” tegas Faisal dalam tulisannya.
Faisal berharap ada kesadaran baru dan seruan bagi seluruh pihak, termasuk civitas akademika dan birokrasi kampus, untuk bertindak tegas.
“Sebab, Unhas ini yang menilai bukan kita saja yang pernah mengenyam ilmu di sini, melainkan siapa saja dapat memberikan penilaian. Positif ataukah negatif adalah tanggung jawab kita bersama yang merasa bagian dari unhas,” tambah Faisal.
Sayangnya, meski kritik dan seruan itu sudah disampaikan pada 2004, fenomena ini tidak berakhir begitu saja. Lima tahun setelahnya, masalah ini justru merambah ke ranah birokrasi kampus, menunjukkan keringnya etiket tidak hanya di kalangan mahasiswa, tetapi juga pegawai layanan.
Tepatnya pada Kamis (4/6) sekitar pukul 14.00 WITA, Budi (samaran) bersama temannya, mendatangi ruangan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Pertanian untuk mencari informasi beasiswa. Namun, empat pegawai di ruangan tersebut asyik bermain domino dan tidak menghiraukan kedatangan Budi. Ketika ia bertanya, salah satu pegawai hanya memintanya menunggu pegawai lain yang sedang salat.
Setelah dua jam menunggu tanpa hasil dan bertanya berulang kali, pegawai yang dimaksud tidak kunjung datang. Budi yang merasa kesal akhirnya memilih meninggalkan ruangan tanpa mendapat informasi apapun. Ia berharap hal serupa tidak terjadi pada mahasiswa lain.
“Mudah-mudahan peristiwa yang saya alami tidak dirasakan mahasiswa lain,” ucapnya, dikutip dari laporan identitas edisi akhir Juni 2009.
Dengan rentetan cerita yang terentang dari koridor Kopma di 2003 hingga ruang birokrasi pada 2009, fenomena domino di Kampus Merah ini bukanlah sekadar masalah hobi. Ia adalah cermin jujur yang merefleksikan dua krisis utama: etiket mahasiswa yang menguap dan taring tata tertib yang tumpul.
Kisah Budi yang harus mengalah pada permainan kartu di ruang pelayanan dan kegelisahan Faisal menegaskan tanggung jawab mengembalikan Unhas sebagai pusat ilmu pengetahuan adalah tanggung jawab segenap civitas academica institusi ini. Sebab, akal dan ilmu haruslah menjadi “raja” di kampus, bukan kartu kecil bergaris merah.
Syarifah Khumairah
