Istilah dosen nyambi telah menjadi bagian dari perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia. Praktik ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dan menjadi sorotan berbagai media massa di beberapa tahun berbeda.
Jauh sebelum berbagai regulasi perguruan tinggi diterapkan dengan ketat seperti sekarang, fenomena dosen nyambi telah menjadi isu yang sering dibahas di berbagai universitas, termasuk di Universitas Hasanuddin (Unhas). Lantas, bagaimana fenomena ini terjadi di Kampus Merah kita?
Oktober 1998, praktik dosen nyambi telah menimbulkan dampak negatif bagi mahasiswa Unhas. Seorang mahasiswa baru (maba) Fakultas Peternakan (Fapet) kala itu semakin terbebani dengan dosen yang tidak mau mengajar di samping banyaknya tugas kuliah dan praktik yang banyak.
Maba itu tidak sendirian, maba angkatan 1998 kala itu tidak pernah menikmati kuliah Bahasa Inggris, meski satu pertemuan saja. Apa daya, pihak akademik Fapet tidak mau ambil pusing dengan perkara yang menimpa para maba itu.
“Ini mata kuliah dasar umum (MKDU), jadi lapor saja ke sana,” kata seorang staf akademik Fapet saat itu.
Permasalahan serupa masih terjadi pada Oktober 2001. Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Ilkom) kala itu, Andi mengeluhkan dosen pengasuh salah satu mata kuliah di prodi Ilkom mengajar di luar Unhas dan biasanya dosen itu tidak hadir pada awal perkuliahan. Andi berasumsi absennya dosen tersebut dikarenakan adanya jadwal ujian akhir di tempat mengajar yang lain.
Fenomena dosen nyambi telah menimbulkan keresahan dan kekecewaan bagi mahasiswa. Kejadian serupa dikeluhkan oleh mahasiswa Sastra Perancis, M Hatta Burhanuddin yang kesal dengan dosennya yang kesulitan mengatur jadwal mengajarnya.
“Dosen mata kuliah Bahasa Perancis, sering mengeluh di ruang kuliah karena tidak dapat mengatur jadwalnya sendiri. Karena selain mengajar di Unhas, dosen tersebut juga mengajar di salah satu tempat kursus di Makassar,” jelasnya pada terbitan identitas awal Oktober 2001.
Di suatu ruang kelas pada Maret 2002, dering handphone tiba-tiba menyela berlangsungnya perkuliahan. Tergegas sang dosen menjawab dan tidak lama setelah itu perkuliahan pun terhenti, mengakibatkan perkuliahan itu hanya diisi tidak lebih dari separuh dari waktu semestinya, yakni dua jam. Rupanya sang dosen akan menyeberangkan urusannya di ‘luar’.
Situasi ini menggambarkan bagaimana praktik dosen nyambi telah mengakibatkan terganggunya proses perkuliahan dan merugikan mahasiswa.
Permasalahan ini semakin kompleks karena melibatkan aspek struktural dalam sistem universitas. Jabatan struktural yang dipegang dosen di perguruan tinggi lainnya bisa saja membuat fungsi akademiknya sebagai pengajar menjadi terabaikan. Soal utamanya adalah membagi waktu.
Menanggapi persoalan ini, berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak universitas. Pada 2001, Unhas mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Rektor tentang Tenaga Dosen, Manajemen Akademik, dan Sarana Pendidikan Unhas.
SK tersebut mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan kepada dosen yang melanggar ketentuan, mulai dari teguran tertulis hingga usul pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
Pembantu Rektor II Unhas kala itu, Prof Syamsul Arifin menyatakan perkuliahan sengaja ditiadakan pada Sabtu guna menghindari tumpang tindih. Pernyataan ini menunjukkan adanya upaya dari pihak universitas untuk mengakomodasi praktik dosen nyambi selama tidak mengganggu tugas utama di universitas asal. Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi berbagai tantangan.
Dekan Fakultas Ekonomi Unhas kala itu, Prof Taslim Arifin juga mengakui masih adanya beberapa dosen yang melanggar aturan ini, khususnya di fakultasnya. Meski beberapa dosen beralasan tidak mengganggu tugas utamanya, pelanggaran ini menjadi perhatian serius karena kualitas pengajaran menjadi taruhannya.
Lain hal dengan Ketua Jurusan Matematika kala itu, Drs Nirwan Ilyas. Menurutnya, peran dosen pendamping diperlukan agar dosen yang memegang jabatan struktural tidak absen di waktu perkuliahannya.
Sementara itu, Taslim menyarankan adanya pengaturan jumlah beban Satuan Kredit Semester (SKS) bagi dosen yang memegang jabatan struktural. “Maksimal 6 SKS biar konsentrasi bisa lebih terpusat,” ujarnya dalam terbitan identitas awal Maret 2002.
Kembali pada Maret 2002, mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan kala itu, Indra Jaya mengakui kebanyakan dosennya lebih mementingkan pekerjaan di luar ketimbang mengajar sebagai tugas utama. Namun, Indra situasi tersebut mulai membaik dibanding tahun sebelumnya.
Pernyataan ini mengindikasikan adanya perbaikan dalam penanganan masalah dosen nyambi di fakultasnya walaupun masih banyak dosen yang mengesampingkan pengajaran sebagai tugas utamanya di kampus.
Permasalahan ini belum sepenuhnya teratasi dan terus menjadi tantangan bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Fenomena ini mencerminkan rumitnya pendidikan tinggi sekaligus realita ekonomi para dosen yang membutuhkan tambahan penghasilan.
Praktik ini juga berdampak serius pada kualitas pendidikan tinggi. Pengaturan beban kerja, peningkatan kesejahteraan dosen, dan penerapan sanksi yang tegas bagi yang melanggar merupakan langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasi permasalahan ini.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan, sudah saatnya universitas-universitas di Indonesia, termasuk Unhas, mengambil langkah lebih tegas menangani fenomena dosen nyambi. Dengan demikian, kualitas pendidikan tinggi di Indonesia terus meningkat dan mahasiswa dapat memperoleh pendidikan yang layak.
Azzahra Dzahabiyyah Asyila Rahma dan Muhammad Nur Ilham
