Pernikahan merupakan hal yang dinilai sakral nan suci bagi manusia. Momen ini tak hanya menyatukan dua insan semata, namun juga menyatukan keluarga dan budaya demi melahirkan generasi penerus. Sayangnya, tak semua orang dapat melihat pernikahan sebagai suatu ikatan yang indah, khususnya di kalangan pemuda. Hal ini dapat dibuktikan dengan turunnya angka pernikahan di Indonesia dari tahun ke tahun.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, dalam satu dekade terakhir, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan signifikan. Pada 2014, jumlah pernikahan tahunan mencapai 2,11 juta. Angka ini terus merosot drastis, yakni 1,70 juta pernikahan pada 2022, dan hanya mencapai 1,57 juta pada 2023.
Lantas, apa penyebab di balik kondisi yang mengancam angka populasi Indonesia ini? Simak wawancara khusus reporter PK identitas Unhas, Nurul Fahmi Bandang, bersama Dosen Sosiologi untuk kajian Gender dan Keluarga, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas, Dr Nuvida Raf SSos MA, Jumat (15/03).
Bagaimana pandangan Anda terkait fenomena pemuda enggan menikah?
Manusia memiliki tuntutan yang harus dipenuhi berdasarkan kebutuhan biologisnya. Misalnya, orang dewasa memiliki kewajiban sosial untuk bekerja, menikah, serta melanjutkan keturunan.
Dalam sosiologi sendiri, pernikahan dianggap penting karena mampu menciptakan keteraturan sosial di masyarakat. Lalu dengan keteraturan ini, orang akan hidup lebih tentram dan sejahtera secara mental maupun spiritual. Apabila pemuda tidak menjalankan kewajibannya itu, maka tentu akan mengganggu keteraturan sosial.
Mengapa kebanyakan pemuda tidak memiliki niat untuk menikah?
Pemikiran ini dipengaruhi oleh teknologi yang semakin mudah diakses, tuntutan kemapanan tinggi, pergerakan mobilitas juga semakin tinggi, serta beratnya beban pernikahan. Selain itu, terdapat penerimaan sosial di masyarakat. Misalnya di dunia pendidikan ketika banyak yang belum menikah, orang-orang cuma bilang, “Oh, dia menikah dengan ilmu.”
Dengan penerimaan sosial itu, orang menjadi longgar ingin menikah atau tidak. Sebab, bagi orang kebanyakan, asal hal itu tidak mengganggu hidupnya dan tidak membebani keluarga, mereka tidak peduli, dan akhirnya kebutuhan untuk menikah menjadi semakin menurun.
Bagaimana dampak keengganan pemuda terhadap pernikahan?
Sebenarnya, ada tanggung jawab secara sosial yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang berkeluarga, misalnya kepemimpinan di tataran ketetanggaan. Itu akan jauh berbeda bila orang belum menikah yang mengatasinya karena perbedaan pengalaman sosial.
Menengok kasus di Jepang dan Korea Selatan, ada banyak orang yang tidak menikah atau berkomitmen tidak punya anak. Itu menurunkan jumlah penduduk dan akhirnya sektor ekonomi dan politik juga akan terganggu.
Apabila natalitas dan mortalitas sama-sama turun, piramida kependudukan kita mungkin akan berbentuk seperti lonceng atau bahkan segitiga terbalik. Lalu, jika hal ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan bahwa kepunahan penduduk akan dirasakan di Indonesia.
Bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi fenomena ini?
Pemerintah dapat memulai dengan melakukan sosialisasi akan indahnya pernikahan. Dari sisi agama dan hukum, pemerintah harus membantu dengan tidak mempersulit mereka yang ingin menikah. Secara sosial, orang semestinya diajarkan untuk menghormati mereka yang menikah. Ketika mereka sudah punya anak, nilai menghormati orang tua juga harus ditanamkan sejak dini. Selain itu, bagi mereka yang punya kewajiban lebih atas pernikahan, sudah sepatutnya dimudahkan untuk mendapatkan pekerjaan.
Ada pandangan bahwa perempuan akan akan kehilangan potensi sosialnya setelah menikah, itu menurut Anda bagaimana?
Dalam studi feminisme, yang namanya patriarki memang kuat. Mungkin dari situ, kita bisa mengajarkan kepada orang bahwa kewajiban laki-laki dan perempuan itu berbeda namun saling melengkapi.
Sebenarnya, kalau perempuan merasa nyaman, dia pasti akan berpikir untuk menikah. Di negara barat, orang yang sudah dan belum menikah itu pajaknya berbeda. Ini hal yang baik, sehingga orang menilai menikah itu bukan menjadi beban yang berat.
Adakah kaitan fenomena enggan menikah ini dengan tren childfree?
Ada istilah nilai anak yang secara sosial sangat berpengaruh terhadap keputusan orang untuk menikah. Jika orang melihat anak sebagai aset kesejahteraan, ketika tua nanti anak yang akan membantunya. Tetapi, kalau orang melihat anak itu menjadi beban, mungkin dia tidak mau menikah dan lebih memilih memelihara hewan yang tidak perlu disekolahkan.
Apakah terdapat perbedaan pandangan antara generasi tentang keinginannya untuk menikah?
Tentu ada perbedaan. Kita dibesarkan dalam situasi yang berbeda-beda. Misalnya, orang kelahiran 70-an seperti saya itu sangat mengagungkan yang namanya pernikahan. Di kalangan Baby Boomers, kita juga mengenal istilah “Banyak anak, banyak rezeki”. Sekarang sudah berubah, apalagi Gen Z lebih dekat dengan hal-hal digital.
Generasi sekarang tak bisa dilepas dari media sosial. Kalau ramai diperbincangkan di media sosial, pasti lebih banyak yang mengagungkan nilai keluarga tersebut. Namun saat nilai keluarga tidak diagungkan, yang ada adalah perdebatan dan condong ke tidak ingin menikah.
Bagaimana harapan Anda ke depannya terkait fenomena ini?
Pernikahan bukan akhir dari eksistensi manusia. Justru dengan menikah orang-orang bisa mengembangkan dirinya menjadi manusia yang lebih paripurna. Semua tanggung jawab sosial sudah mereka rasakan, sehingga keberadaannya akan memuat sisi kemasyarakatan dan kenegaraan. Dari sinilah mereka diharap dapat membentuk keteraturan sosial.
Data Diri Narasumber
Nama: Dr Nuvida Raf SSos MA
Tempat Tanggal Lahir: Bandung, 21 April 1971
Riwayat Pendidikan
S1: Sosiologi, Universitas Hasanuddin, 1996
S2: Gender and Development, Flinders University, Australia, 2007
S3: Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, 2019