Gempa bumi dan tsunami yang baru-baru ini terjadi di Palu, Donggala, dan sekitarnya tampaknya menjadi perbincangan nasional bahkan dunia. Tidak ketinggalan para akademisi juga ikut mengulik peristiwa ini, menjelaskan secara sains.
Begitu pun yang dilakukan Ikatan Alumni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unhas yang bekerja sama dengan Program Studi Geofisika Unhas. Mereka mengadakan Diskusi Publik yang bertajuk memahami fenomena alam dan urgensi edukasi, serta mitigasi bencana. Kegiatan yang diikuti oleh sekitar 20 orang ini berlangsung di Ruang Redaksi Tribun Timur, Jumat (12/10).
Dalam menjelaskan peristiwa ini, Ketua Program Studi Geofisika FMIPA Unhas, Dr Muh Altin Massinai MT Surv bertindak sebagai pembicara. Ia pun memaparkan definisi gempa, penyebab gempa, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut, Muh Altin mengatakan, manusia bisa menentukan daerah rawan bencana. Namun, waktu terjadinya bencana itu hanya Tuhan yang tahu.
“Manusia hanya bisa menentukan zona ini rawan dan tidak, tapi waktu terjadinya wallau alam. Oleh karena itu, jangan coba membuat infrastruktur di daerah/zona yang rawan bencana,” katanya.
“Nah, ada hotel di Palu letaknya depan laut, sebelum pembangunan gedung itu sudah diperingatkan kalau itu tidak baik untuk membangun infrastruktur, tapi sepertinya imbauan itu diacuhkan. Sekarang setelah gempa, hotelnya hancur dan tentu kerugian sangat besar,” tambahnya.
Sehingga, Muh Altin lanjut menjelaskan, ada tiga hal yang harus diketahui terkait kewaspadaan terhadap bencana. Pertama, penyusunan zona rawan gempa. Kedua, penyusunan pembangunan infrastruktur. Ketiga, penyiapan masyarakat terhadap ancaman gempa bumi melalui penyuluhan, petunjuk umum, dan lain-lain.
Setelah Muh Altin menjelaskan sekitar satu jam. Beberapa peserta tampak antusias bertanya dalam diskusi ini. Salah satunya, mahasiswa Departemen Biologi, Muhammad Abdul. Ia mempertanyakan soal artikel yang pernah dibacanya, di Jepang ada metode memprediksi bencana alam berdasarkan tingkah laku ikan. Dengan munculnya jenis ikan tertentu menandakan bencana akan datang.
Mendengar pertanyaan itu, Muh Altin mengatakan, Amerika dengan teknologi yang canggih pun gagal memprediksi gempa. Begitu pula dengan Jepang. Namun, ia tidak terlalu mengetahui soal metode itu.
“Orang biologi yang seharusnya teliti dan jawab itu,” Katanya.
Namun, lanjut Muh Altin, satu hal yang perlu diketahui, perilaku binatang dan manusia berbeda. Bila manusia hanya bisa mendengar getaran frekuensi minimal 20 Herzt. Maka, hewan bisa mendengar bunyi di bawah 20 Herzt. Oleh karena itu, getaran sedikit pun hewan bisa mendengarnya.
“Bila manusia punya kemampuan seperti ikan, maka kita akan merasakan getaran setiap saat,” lanjutnya.
Diskusi ini berlangsung hingga sore hari. Kegiatan ditutup dengan pemberian penghargaan kepada pemateri dan pihak tribun timur yang telah bersedia terlibat dalam diskusi ini.
Sih