identitas coba mengumpulkan kembali keping demi keping geliat mahasiswa Unhas yang bersumber dari tulisan/berita kala itu.
Keinginan akan reformasi dan menurunkan Soeharto dari singgasana kekuasaan juga tertanam di benak mahasiswa Unhas saat itu. Walau telah menjadi rahasia umum bahwa berani melawan pemerintah sama halnya dengan menentang maut.
10 Maret 1998, sekira 20 mahasiswa Fakultas Sastra Unhas berani melakukan aksi demo dan memblokir jalan di Pintu Satu Unhas hingga menyebabkan macet. Aksi itu dibubarkan setelah pihak birokrasi turun tangan.
Keesokan harinya, 11 Maret 1998 ratusan mahasiswa dan sejumlah forum diskusi dari berbagai fakultas kembali berkumpul. Diinsiasi oleh Ketua Senat Sastra saat itu, Asri, mereka mendeklarasikan bahwa 11 Maret 1998 dijadikan Orde Reformasi.
Rentetan diskusi, aksi demi aksi itu dilakukan mulai dari kelompok kecil, menggelinding bagai bola salju. Nyaris setelah deklarasi tersebut, muncul aksi sejumlah mahasiswa bahkan tanpa menggunakan nama lembaga kemahasiswaan. Meskipun suasana itu juga terasa di fakultas masing-masing.
Saat itu, mahasiswa sangat resah melihat permasalahan perekonomiaan tidak kunjung membaik, harga melambung tinggi, mental Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) merajalela. Tiga hal ini menjadi tema dalam setiap mimbar dan diskusi.
Sayangnya aksi dan isu tersebut sempat mereda dan melemah setelah Soeharto kembali dalam sidang umum MPR Maret 1998. Mahasiswa kembali ke ruang kuliah walau diskusi kecil-kecilan dan door to door tetap dilakukan untuk merencanakan aksi selanjutnya.
Tepat 9 April 1998, mahasiswa Unhas kembali turun ke jalan. Aksi yang diinisiasi oleh Senat Sastra, Sosial Politik (Sospol) dan Ekonomi ini dilakukan sebagai bentuk aksi solidaritas atas hilangnya sejumlah aktivis mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI) serta sejumlah mahasiswa di Indonesia.
Kecaman dan gugatan disampaikan atas peristiwa naas itu. “Terus-terang kami sangat sedih dan berduka atas hilangnya mahasiswa Indonesia yang entah rimbahnya kini dimana,” ujar Ketua Senat Sastra kala itu, Asri.
Hal serupa disampaikan oleh Makhbul Halim, dengan wajah sedih dan penuh kemarahan. “Siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya para mahasiswa itu, siapa?” teriaknya.
Tak puas dengan hanya aksi mimbar, para pengujuk rasa menyasar foto kabinet dan Soeharto. Bahkan dalam kondisi pengamanan yang sangat ketat. Mereka menghimbau untuk mencopot foto Soeharto. Kaca pembungkus fotonya dipecahkan di depan Kantor Pos. Lalu gambar Soeharto di bawa ke gedung DPRD TK I jalan Urip Sumiharjo.
Sebagai bentuk duka, bendera depan Gedung DPRD diturunkan setengah tiang. Selanjutnya mahasiswa duduk melingkar sambil menggelar mimbar bebas. Selang beberapa menit petugas keamanan tiba dengan pistol di pinggang dan senapan di gengaman.
Tak digubris, mimbar ala mahasiswa tetap dilanjutkan dengan orasi serta pembacaan puisi. Bagi beberapa kalangan aksi ini telah melewati batas keberaniaan dan nekad.
Sepulang DPRD TK I, Sore harinya salah satu aktifivis mahasiswa hilang, Makhbul Halim yang orasinya dinilai terlalu keras diduga diculik. Issu tersebut menyebar menimbulkan campur baur antara ketakutan dan perlawanan.
Keprihatinan mahasiswa semakin menajam ketika empat mahasiswa Tri Sakti terbunuh. Secara spontan mahasiswa Fisip menggelar aksi di rektorat dan tuntuan ke jalan menjadi suatu panggilan.
Kemarahan mahasiswa memuncak, pada tanggal 20 Mei 1998, pukul sembilan lewat saat matahari mulai menyengat. Jalan Perintis Kemerdekaan berubah menjadi laut merah. Ribuan mahasiswa Unhas turun ke jalan, Pintu Satu Unhas mendadak macet, para pejuang reformasi ini menyemut menuju Lapangan Karebosi.
Terbitan identitas edisi Mei 1998 menggambarkan kondisi kala itu. Ketika matahari makin tinggi saat iring-iringan bergerak perlahan. Kata-kata turunkan Soeharto kerap terdengar diringi kepalan tangan penuh semangat.
Disisi jalan terlihat masyarakat menyambut reformis-reformis muda dengan antusias. Bahkan hampir di sepanjang jalan, masyarakat yang dilalui rumahnya menyediakan makanan dan minuman. Ada yang membagikan rokok, permen dan apapun yang mereka mampu. Tua, muda, paruh baya sampai anak kecil seakan berlomba untuk menyemangati mahasiswa.
Tira, salah seorang karyawati yang rela absen kerja lantaran tak ingin melewatkan aksi mahasiswa dan turut membagikan minuman dan bingkisan kua pada mahasiswa yang lewat.
“Teruslah berjuang, kami mendukungmu,” katanya tidak putus.
“Sangat mengharukan,” ujar Abd. Mu’ti, mantan Ketua Maperwa Kedokteran Unhas.
Bahkan para petinggi kampus seperti Prof Halide, Drs Alwy Rahman MA, Drs Hamid Paddu Ma dan beberapa staf dosen turut ikut di long march sampai Karebosi. Mereka kerap kali ditawari masyarakat minum,
“Inilah bukti nyata bahwa rakyat memang mendukung kita, karenanya tak ada jalan selain maju,” ucap Prof Halide.
Ada pula pemilik toko yang dengan sengaja membagikan rokok. Laki-laki yang tidak ingin disebutkan namanya ini memang sengaja menyediakan untuk para reforman, baginya kesempatan untuk mambantu para pejuang tidak datang setiap hari. “Saya sangat bangga dengan perjuangan mereka dan hanya ini yang bisa saya lakukan,” ujarnya.
Keesokan harinya, 21 Mei 1998, pasca demo besar-besar Soeharto secara resmi mengundurkan diri dari jabatanyan sebagai persiden. Layaknya kemenangan, secara spontan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi langsung turun ke jalan. Puluhan aktivis, dosen bahkan Guru Besar turut merayakan kemenangan mahasiswa dengan langsung berdiskusi.
“Hari ini benar-benar milik mahasiswa, selamat datang Orde Reformasi,” kata Pembantu Rektor III Drs Amran Razak. Runtuhnya rezim Orde Baru menjadi catatan besar dalam agenda perubahan Republik Indonesia.
Berhasil melengserkan Soeharto tidak lantas membuat mahasiswa harus berpuas diri. Banyak pekerjaan rumah yang tertinggal. “Mahasiswa kalau berhasil jangan cepat berpuas diri,” kata Dr Alfian Malarangeng yang ikut di massa aksi Unhas saat itu.
Reporter: Norhafizah