Kampus kerap dipandang sebagai ruang aman bagi aktivitas akademik. Namun, arsip lama identitas secara gamblang memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Pencurian bukan hal asing di Universitas Hasanuddin (Unhas).
Sejarah panjang Unhas tidak hanya dipenuhi dengan kisah akademik dan capaian ilmiah, namun juga diwarnai dengan lika-liku kasus kriminal yang terjadi di lingkungan kampus. Dari laboratorium komputer yang dibobol berulang kali, hingga uang mahasiswa yang raib di tempat penitipan perpustakaan. Semua menunjukkan adanya celah di balik sistem keamanan kampus.
Terbitan identitas awal Juli 2005 melaporkan, peristiwa pembobolan laboratorium komputer Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian terjadi hingga tiga kali tanpa adanya pelaku yang tertangkap secara jelas. Aksi pencurian kerap kali dilakukan pada jam-jam rawan, sekitar pukul 03.00 dini hari, ketika suasana kampus sepi dan patroli keamanan kurang ketat. Satuan Pengamanan (Satpam) memang rutin berkeliling, namun pelaku diduga sudah mengetahui pola jaga dan titik-titik lemah di sekitar lokasi.
Akibatnya, sejumlah unit komputer raib, meninggalkan meja kosong dan kabel berserakan. Kerugian material tentu terasa, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah dugaan adanya orang dalam yang turut terlibat. Dugaan ini muncul karena pelaku tampak mengetahui lokasi, tata letak, serta akses masuk tanpa meninggalkan jejak mencolok. Kasus tersebut menunjukkan bahwa bahkan fasilitas vital kampus bisa dijebol bila sistem keamanan tidak diperkuat.
Kapolsek Biringkanaya saat itu, Amiruddin, menegaskan penyelidikan sempat mengarah pada beberapa pihak, namun bukti baru membuat penyidik mengubah arah kasus. “Mereka masih tersangka, akan tetapi dalam pemeriksaan lebih lanjut ditemukan adanya bukti baru yang mengindikasikan keterlibatan mereka,” jelasnya.
Setahun berselang, pada April 2006, identitas kembali melaporkan, seorang mahasiswi kehilangan uang sekitar Rp900 ribu di tempat penitipan perpustakaan. Kejadian berlangsung sekitar pukul 14.00 Wita, tepat di saat jam sibuk mahasiswa keluar-masuk ruang baca.
Kronologi sederhana namun ironis. Mahasiswa menitipkan barang dengan keyakinan akan aman, justru di situlah celah muncul. Tempat penitipan yang diharapkan menjaga barang-barang pengunjung ternyata tak steril dari tindak kriminal.
Peristiwa yang sama kembali terjadi pada awal Oktober 2006, maling berhasil menyusup ke gedung Rektorat. Insiden ini cukup mengejutkan karena terjadi di jantung administratif kampus. Pelaku masuk saat libur Idulfitri, ketika suasana kampus lengang. Salah satu korban, pegawai rektorat, kehilangan laptop beserta sejumlah barang berharga. Peristiwa ini menegaskan bahwa lemahnya pengawasan keamanan bukan hanya terjadi di fakultas-fakultas, melainkan juga di pusat administrasi utama Unhas.
Meski jumlah kerugian tak sebanding dengan kasus pencurian komputer tahun sebelumnya, efek psikologisnya besar. Mahasiswa menjadi was-was bahkan saat sekadar membaca buku di perpustakaan. Kasus ini pun menambah daftar panjang catatan keamanan di kampus, terlebih karena lokasi kejadiannya berada di lingkup kampus, ruang yang semestinya aman
Jika dibandingkan, beberapa kasus yang ada memiliki benang merah yaitu lemahnya pengawasan. Pada laboratorium misalnya, lemahnya sistem akses dan patroli membuat pencuri leluasa untuk melancarkan aksinya. Di sisi lain, di perpustakaan, kelonggaran prosedur penitipan memberi ruang bagi pelaku untuk beraksi.
Beberapa catatan lama ini menjadi pengingat bahwa keamanan kampus tak bisa diabaikan. Teknologi pengawasan, prosedur ketat, dan kesadaran sivitas akademika harus berjalan beriringan. Tanpa itu, ruang belajar yang mestinya aman justru akan terus menjadi sasaran empuk tindak kriminal.
Wahyu Alim Syah
