Sobat iden tahu gak sih kalau dulu kontribusi wanita di Indonesia tidak sebanyak sekarang? Bukan karena ketidakmampuan para wanita pada masanya, melainkan karena saat itu wanita lebih banyak memilih hanya menjadi ibu rumah tangga dibanding mencoba bidang lain.
Bermula dari pandangan Menteri Muda Urusan Peranan Wanita, Anindyati Sulasikin Murpratomo, yang menyatakan tidak ada departemen representatif dalam urusan wanita-wanita di Indonesia, gaung emansipasi wanita menjadi semakin marak diperbincangkan, baik di kalangan intelektual, maupun kalangan awam.
Untuk membahas lebih lanjut mengenai isu tersebut, diadakan musyawarah antar pimpinan perguruan tinggi. Hasil musyawarah kemudian melahirkan sebuah keputusan untuk meresmikan Pusat Kajian Wanita di Unhas pada 1987, dan menjadikan Dra A Atja Said MSi sebagai pimpinan pertama yang dijabat.
Sebagai langkah awal, pada 1988, Atja dan timnya, Ir H Hamdana A Tashan Ms, pergi bersama ke Negeri Belanda. Mereka berangkat untuk memperoleh pemahaman tentang pengelolaan lembaga yang mengeksplorasi isu-isu terkait wanita.
Setelah mendapatkan pengetahuan tersebut, Atja dan tim setuju untuk mengganti nama yang sebelumnya Pusat Kajian Wanita menjadi Pusat Studi Wanita (PSW). Saat itu juga, PSW melebarkan sayap sebagai tim Peningkatan Peranan Wanita (PPW), bekerja sama dengan Pemerintah Daerah yang bernaung di bawah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Hadirnya PSW juga didukung oleh Rektor dan beberapa petinggi Unhas. Meski demikian, di tahun-tahun merintisnya, pusat kajian ini sempat mendapatkan kritik oleh beberapa pihak yang tidak setuju dengan pendirian lembaga yang berfokus pada peran wanita dalam pembangunan.
Namun, penentangan dari beberapa pihak tidak membuat sosok wanita di Unhas merasa gentar. Sebaliknya, mereka merespons melalui tekad untuk lebih aktif dan menempatkan diri dalam posisi sejajar dengan kaum pria dalam mengambil peran dengan porsi yang sama.
Dilansir dari berita identitas edisi 13 Mei 1993, PSW memiliki tujuan utama untuk meneliti tentang sejauh mana peran wanita dalam pembangunan. Salah satu pendiri PSW, Ir H Hamdana A Tashan Ms menyampaikan, peran wanita tidak bisa dinilai dari satu sisi saja.
“Tidak bisa dianalisis secara sepihak dalam arti dinilai secara materilnya saja, tetapi dengan tinggal di rumah memasak untuk suami dan memelihara anak juga termasuk peran yang besar bagi pembangunan,” tuturnya.
PSW hadir guna membantu melakukan penelitian untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan yang menghalangi partisipasi wanita dalam pembangunan. Selain itu, mereka berupaya menciptakan teknologi yang efisien dan mendukung kemandirian wanita, sehingga mereka tidak perlu bergantung pada pihak lain dan dapat aktif berkontribusi dalam masyarakat.
Dalam perkembangannya, anggota lembaga terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti yang diungkapkan oleh Ketua PSW, Prof Dr Ir Farida Nurland MSc. Dari yang awalnya berfokus pada wanita-wanita sarjana, namun seiring waktu cakupannya meluas dan melibatkan anggota dari berbagai disiplin ilmu. Bahkan, terus berlanjut dengan penambahan anggota pria dari jenjang S-1 sampai S-3.
“Persoalan perempuan tak akan pernah selesai tanpa pertolongan laki-laki, karena persoalan perempuan yang memunculkan adalah laki-laki,” ujarnya dalam Laporan Utama identitas edisi 1998.
Pada 1998, PSW merupakan lembaga otonomi mandiri. Untuk melakukan penelitian ataupun program kerja, pusat kajian ini melakukan kerja sama dengan pihak luar, seperti pihak swasta maupun pemerintah. Dari kerja sama tersebut, sepuluh persen dari dana penelitian akan disisihkan dan nantinya masuk ke dalam kas lembaga.
Demi pemberdayaan PSW, Farida menyampaikan, dirinya telah melakukan pengusulan agar diberi dana rutin oleh pihak rektor sebesar 7,5 juta pertahun, seperti kebijakan rektor untuk pusat studi lain.
Program kerja PSW sendiri berkonsentrasi dalam penelitian pada wanita tani dan nelayan, khususnya di Ujung Pandang dan Pare-pare, serta delapan kabupaten di Sulawesi Selatan seperti Kabupaten Barru, Mamuju, Polmas, Enrekang, Pinrang, dan Majene. Mengacu pada tridharma perguruan tinggi dan sejalan dengan tujuan PSW untuk bisa meningkatkan pemberdayaan peran wanita.
Salah satu program kerja yang telah dilaksanakan adalah membina desa binaan bagi wanita tani dan nelayan. Program kerja ini bertujuan untuk membentuk suatu wadah yang terdiri dari berbagai kelompok, dengan harapan nantinya mereka dapat bergabung dalam sebuah koperasi.
Tidak hanya itu, PSW juga telah melakukan pembinaan terhadap wanita golongan ekonomi lemah melalui pemberian penyuluhan untuk meningkatkan pendapatan dengan memanfaatkan keterampilan yang dimiliki, serta memberikan kursus-kursus dan pendidikan bagi wanita yang dianggap memiliki motivasi dan potensi.
Kabar terakhir yang terdengar mengenai PSW dalam berita identitas edisi 30 Mei 1998, kiprah PSW dianggap masih kurang oleh seorang aktivis perempuan Unhas dan perlu digenjot lagi peranannya.
Sampai saat ini, gaung dari PSW sudah tidak terdengar lagi. Kiprahnya yang dulu ibarat angin segar bagi peningkatan peran wanita dalam segala aspek dalam mendukung tridharma perguruan tinggi kini hilang ditelan masa.
Najwa Hanana