Nh Dini, sebuah nama indah yang disematkan kepada sastrawan perempuan asal Indonesia. Pemilik nama asli Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin itu menorehkan pemikiran apiknya dalam karya-karya yang mengangkat isu perempuan dan kehidupan sosial.
Ia lahir pada 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Dirinya merupakan anak bungsu dari lima bersaudara dari pasangan Salyowijiyo, seorang pegawai perusahaan kereta api dan ibu bernama Kusaminah. Selain berdarah Jawa, ternyata ia juga memiliki darah Bugis.
Bagi Nh Dini, karya sastra bukanlah menjadi hal tabu, sehingga minat menulis telah terlihat sejak dini. Minat ini semakin tumbuh berkat dorongan dari sang ayah yang kerap membawakan buku-buku bacaan untuknya. Pada usia 15 tahun, bakat Nh Dini dalam menulis mulai terlihat dengan jelas.
Ketika karyanya mulai disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang, itulah awal mula karirnya sebagai seorang penulis. Dilansir dari ceknricek, kiprah Nh Dini di dunia sastra mulai mendapat pengakuan pada 1952, saat puisinya dimuat di majalah Budaja dan Gadjah Mada yang terbit di Yogyakarta.
Setelah lulus dari bangku SMA pada 1956, Nh Dini sempat meniti karier sebagai pramugari di Garuda Indonesia Airways. Meski demikian, kecintaannya pada dunia sastra tak pernah surut. Di tengah padatnya jadwal penerbangan, ia tetap meluangkan waktu untuk menulis.
Di sisi lain, bakat seni yang dimiliki Nh Dini tidak terlepas dari peran kakaknya, Teguh Asmar, yang juga seorang seniman. Selain itu, kecintaannya terhadap dunia seni juga berkat arahan sang ayah. Ayahnya mendorong Nh Dini untuk belajar menari dan memainkan gamelan, sebagai cara untuk menanamkan nilai kelembutan dalam menjalani kehidupan.
Pada 1960, Nh Dini menikah dengan Yves Coffin, seorang diplomat asal Prancis. Pernikahan ini membawa warna dan cerita tersendiri dalam kehidupan perempuan kelahiran tahun kabisat itu.
Pernikahan ini mengantarkan Nh Dini untuk menetap di berbagai negara, termasuk Jepang, Kamboja, hingga Prancis. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai dua orang anak, yaitu Marie-Claire Lintang dan Pierre-Louis Padang, yang kemudian dikenal sebagai sutradara dari film animasi populer Minions.
Meskipun ia menikmati kehidupan sebagai istri seorang diplomat, perjalanan hidupnya tidak selalu mudah. Termasuk pernikahannya yang harus berujung perceraian pada 1984 silam.
Pada tahun yang sama setelah perceraian, ia pun memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Seperti yang tercatat dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud), pada saat itu ia tengah berjuang melawan penyakit kanker.
Setelah pulih dari penyakitnya, ia kembali meneruskan kariernya sebagai penulis penuh. Beberapa novelnya yang terkenal antara lain Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), dan Orang-Orang Tran (1983). Novel-novel tersebut banyak mengangkat persoalan perempuan, kehidupan rumah tangga, peran gender, serta pengalaman pribadinya di berbagai negara.
Selain novel, Nh Dini juga aktif dalam menulis cerpen, puisi, dan esai. Ia juga tercatat pernah mendirikan pondok baca di Semarang pada tahun 1986.
Pendirian pondok ini hadir sebagai bentuk dedikasinya dalam mengembangkan minat baca dan tulis bagi anak-anak serta masyarakat umum. Melalui pondok baca ini, ia berharap dapat menularkan rasa cinta literasi kepada generasi muda.
Selama hidupnya, ia menulis kurang lebih sebanyak 20 buku. Oleh sebab itu, kontribusi Nh Dini dalam dunia sastra mendapat pengakuan luas, baik di dalam maupun luar negeri.
Berkat kiprahnya di dunia sastra, pemerintah Thailand memberikan penghargaan SEA Write Award pada 2003. Selain itu, atas dedikasinya dalam dunia kepenulisan, Nh Dini menerima berbagai penghargaan dari lembaga kebudayaan di Indonesia.
Sementara itu, ketidakadilan dan patriarki yang dialami kaum perempuan menjadi ciri khas karya Nh Dini. Hal ini selalu terpatri dalam ingatan para pecinta dan penikmat sastra saat membaca karyanya.
Dengan gaya bahasa yang lugas dan penuh perasaan, tulisan Nh. Dini berhasil menggambarkan pergulatan batin yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Sehingga narasi yang ia tulis banyak diilhami oleh pengalaman hidupnya sendiri.
Di balik kesuksesan dan produktivitasnya, ia tetap menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya. Sebagai seorang perempuan yang mandiri dan memiliki pemikiran maju, ia sering kali menghadapi stigma sosial, terutama setelah memutuskan untuk bercerai dan hidup seorang diri. Namun, ia tetap teguh pada prinsipnya dan terus berkarya hingga akhir hayatnya.
Pada 4 Desember 2018, kabar meninggalnya Nh Dini membawa duka bagi para sastrawan dan masyarakat Indonesia. Ia wafat akibat kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Tol Temalang Kilometer 10, Semarang. Sesuai dengan wasiatnya semasa hidup, jenazah Nh Dini kemudian dikremasi di Ambarawa.
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi dunia sastra Indonesia. Sastrawan terkemuka ini merupakan sosok perempuan yang berani, mandiri, dan memiliki tekad kuat dalam meniti karier sebagai penulis.
Melalui karya-karyanya, ia tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan wawasan bagi banyak orang, terutama perempuan. Karya-karyanya tetap abadi dan menjadi bagian penting dalam sejarah sastra Indonesia, serta terus menginspirasi para pembaca hingga saat ini.
Ismail Basri
