Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Dr Antarini Arna SH LLM, hadir sebagai pembicara dalam Dialog Kebangsaan bertema “Kebudayaan dan Kebangsaan dalam Bingkai Indonesia Raya”. Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ke-65 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin (Unhas) dan berlangsung di Baruga AP Pettarani, Sabtu (06/12).
Dalam pemaparannya, Arna menegaskan bahwa budaya dan kebangsaan Indonesia bukanlah produk instan, melainkan hasil dari proses panjang yang terus hidup dalam praktik keseharian masyarakat. Ia menjelaskan bahwa budaya dapat tercermin melalui tindakan sederhana, mulai dari cara menyapa, kebiasaan mengantre, merawat lingkungan, hingga hal kecil seperti mengaduk kopi saset agar rasanya pas.
“Tindakan kita sehari-hari adalah wujud budaya dan kebangsaan Indonesia,” ujarnya.
Arna juga menekankan bahwa ketika berbicara tentang keindonesiaan, yang dibahas bukan sekadar tanah atau air, melainkan kisah kolektif yang terbangun dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya tercermin dari cara kita menghormati pandangan dan gagasan yang berbeda, serta bentuk solidaritas terhadap sesama warga yang sedang mengalami kesulitan.
“Bagaimana kita bersolidaritas dengan warga yang sedang mengalami kesusahan,” katanya.
Menurutnya, keindonesiaan adalah cerita kolektif tentang keputusan bersama untuk hidup dalam keragaman. Ia mencontohkan bahwa ketika melihat saudara sebangsa mengalami penderitaan, seperti di Pulau Sumatra, yang perlu dipertanyakan adalah pilihan sikap kita.
“Apakah kita memilih berwisata ke sana, atau justru menyisihkan uang jajan untuk berdonasi dan membantu mereka,” tuturnya.
Lebih lanjut, Arna menyampaikan bahwa budaya dan keindonesiaan tidak terlepas dari relasi kekuasaan. Oleh karena itu, definisi keindonesiaan harus terus dipertanyakan agar tidak hanya lahir dari sudut pandang elite politik semata.
Menutup pemaparannya, ia berharap di tengah era yang serba viral, publik tidak menggantungkan makna keindonesiaan pada banyaknya likes dan komentar di media sosial. Menurutnya, keindonesiaan justru tumbuh dari kesediaan untuk mendengarkan, saling menjaga, berdialog, dan menghormati satu sama lain.
Fitriani Andini
