Fajar menyingsing perlahan di langit kota Makassar, mengantar kepergian saya meninggalkan sejenak kota itu. Tepat 17 November 2019, pesawat udara Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA368 yang akan mengantar saya bersama kak Lidya, terbang meninggalkan Bandara Sultan Hasanuddin lima menit lebih cepat dari jadwal yang tertera. Perjalanan menghabiskan waktu tiga jam lewat seperempat menit, ditandai arahan pilot dari kokpit yang mengatakan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani Semarang.
Singkatnya, sebelum ke Semarang, kami melewati beberapa proses seleksi, awalnya Beswan (penerima Djarum Beasiswa Plus) tahun ajaran terakhir Van Deventer Maas Indonesia (VDMI) membuat motivation letter dan esai dalam bahasa Inggris, kemudian terpilihlah dua puluh orang.
Saat itu, teman baruku bernama Dono yang telah tiba lebih dulu dari Pontianak. Ia menunggu kami di pintu kedatangan. Dari bandara kami bergegas menuju Wisma Theresia untuk mengikuti Citizenship Workshop VDMI. Kegiatan ini merupakan pelatihan bagaimana menjadi warga negara aktif di lingkungan sekitar.
Kegiatan kami setiap paginya dimulai dengan diskusi, membahas mengenai masalah yang telah dipilih ketua kelompok pada hari itu. Masalahnya beragam, mulai dari gizi pangan hewani, ketersediaan energi listrik, kerusakan moral, dan lain sebagainya. Selain itu, dua pemateri yang diundang memberikan ilmu baru.
Salah satu Dosen Psikologi Universitas Padjajaran Bandung, Jenny mengajarkan bagaimana menjiwai kepemimpinan. Tentu pemimpin perlu diberi ujian. Kelompok saya sendiri yang berjumlah lima orang ditantang mencari uang tanpa modal.
Kami membagi diri dalam tiga kelompok, pergilah saya ke sebuah warung makan dan bekerja menjadi pencuci piring yang dibayar dua puluh ribu rupiah. Teman saya yang lain bekerja di perkebunan bunga dan juga perkebunan alpukat. Ada yang mendapat upah tiga puluh ribu, ada juga yang hanya diberi alpukat muda. Di lain sisi, kelompok yang lain ditugaskan memecahkan masalah sosial dalam kehidupan seseorang.
Pemateri bernama Ferdinan mengajarkan bagaimana teknik berkomunikasi yang baik dan memengaruhi seseorang dengan perkataan. Selain itu, ia juga mengajarkan bagaimana melakukan presentasi tanpa menggunakan power point, dan bagaimana menyikapi radikalisme yang positif.
Setelah mendapatkan materi-materi yang menarik dan bernilai, kami juga berkesempatan belajar bercocok tanam bunga mawar, beternak ayam, melihat pembuatan Tomat rasa kurma (Torakur) dan ke tempat wisata Ampel Gading Homeland.
Tepat tanggal 22 November 2019, sebelum kembali ke Makassar, kami diberikan waktu semalaman untuk mengunjungi Kota Lama. Kota itu merupakan salah satu destinasi yang wajib dikunjungi selain Lawang Sewu. Sekitar pukul 06.00 WIB, seperempat rombongan kami tiba. Sisi kanan jalan terlihat tulisan “Selamat datang di Kota Tua”. Bangunan sisa kolonial berjejer di dalamnya.
Konon usia bangunan-bangunan itu melebihi seratus tahun lamanya. Langkah kami perlahan mengikuti jalan yang tersusun dari bata beton (Paving Block) seluas lebih dari dua kali lapangan sepak bola. Setidaknya ada tujuh tempat wisata yang ditawarkan di sana, yaitu Taman Sri Gunting, Gereja Blenduk, Gedung Seni Semarang, Pasar Barang Antik, Museum Mimpi, Gedung Kreatif, dan Monod Diephuis and Co.
Sepanjang jalan sengaja dipajang sepeda-sepeda tua, ada yang beroda dua juga beroda tiga, dengan bakul kecil berisi bunga di sisi kanan, kiri dan depannya. Di hadapan sepeda itu tertulis “Setelah foto bayar seikhlasnya” di papan tulis. Selain sepeda, beberapa orang terlihat menggunakan kostum pahlawan super. Waktu kami selama tiga jam terkuras hanya dengan berfoto. Wajar saja, esok hari kami harus kembali ke kampung halaman masing-masing.
Kami pun kembali setelah lima jam berkeliling Kota Lama dan juga pusat oleh-oleh. Menutup perjalanan kami di Semarang, masing-masing menampilkan pertunjukan khas daerahnya. Kawan dari Padang menyanyikan lagu “Dindin Mba Dindin” beserta tarian Indang, Makassar menyuguhkan lagu “Anging Mammiri”’ dengan baju adat Bodo, Nusa Tenggara Timur mengajak semua orang menari dengan tari Gawi, dan Jawa Tengah meyanyikan lagu “Gundul Pacul”.
Satu persatu ‘koloni’ beranjak pergi menuju kampung halaman membawa serta misi perubahan. Sebagaimana kumbang yang hinggap di atas kembang, membantu penyerbukan kemudian merubahnya menjadi buah. Misi itu wajib dibawa pulang lalu ditempatkan pada salah satu rincian resolusi mendatang oleh tiap koloni Kumbang dari Bandungan.
Muh. Irfan,
Reporter PK identitas Unhas,
Mahasiswa Teknik Elektro Unhas
Angkatan 2016.