Indonesia dikenal memiliki banyak suku, tercatat ada 1.340 suku yang tersebar di berbagai wilayah. Namun, tidak sedikit dari suku ini yang terancam punah. Kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat hal ini dengan cepat terjadi. Beberapa suku kini mengalami perubahan besar dan menjadi manusia modern dengan meninggalkan kebudayaannya sendiri.
Di sisi lain, ada beberapa suku yang masih menjaga praktik kebudayaanya meskipun digempur oleh era modern, salah satunya yaitu suku Bajo. Suku yang sering dikenal sebagai pengembara laut ini memiliki sejarah yang kaya dan menarik.
Banyak teori mengenai asal usul mereka menyebutkan bahwa suku ini berasal dari Kepulauan Sulu di Filipina Selatan. Hal ini terlihat dari kesamaan bahasa mereka dengan Tagalog. Di Indonesia, suku Bajo tersebar di berbagai provinsi, salah satunya yaitu di Sulawesi selatan (Sulsel). Selama ratusan tahun, mereka telah menetap di sepanjang pantai Teluk Bone di daerah sekitar Taman Nasional Kepulauan Togean.
Eksistensi Suku Bajo di Sulsel kemudian menarik minat Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas, Fathu Rahman dan tim, untuk meneliti terkait budaya Suku Bajo. Penelitiannya difokuskan pada aspek kebudayaan dengan mengacu pada Teori Kebudayaan Koentjaraningrat. Menurut teori tersebut, terdapat 7 aspek kebudayaan masyarakat, yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, peralatan, sistem ekonomi, agama, dan seni.
Hasil penelitian Fathu dan tim kemudian dituangkan dalam artikel berjudul “The Men and the Sea: Cultural Preservation of Bajau People with their Traditional Practice in Bone Regency”. Dalam penelitian itu, mereka menemukan bahwa Suku Bajo kini mengalami pergeseran budaya, namun budaya aslinya masih dapat terjaga dengan baik.
Terhimpit di tengah modernisasi
Penelitian ini merupakan riset etno-culture dengan metode pengumpulan data melalui penyebaran kuesioner dan wawancara. Fathu dan tim melakukan penelitian di Desa Bajoe, yang terletak di Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone, Sulsel.
Penelitian Fathu dan tim menemukan bahwa telah terjadi pergeseran budaya pada Suku Bajo. Yang paling fundamental terjadi pada aspek bahasa, di mana beberapa anak muda Bajo kini mampu memahami bahasa di luar suku mereka. Pergeseran budaya yang terjadi pada Suku Bajo setidaknya dipengaruhi oleh dua hal, yakni pengaruh kehidupan yang dinamis dan masalah akulturasi budaya.
Kehidupan yang dinamis berarti Suku Bajo bisa berupaya untuk tetap eksis di tengah modernisasi. Dalam hal ini, Suku Bajo mampu menempatkan diri atau adaptif terhadap lingkungan sekitarnya.
Hal yang serupa juga berkaitan dengan akulturasi budaya. Akulturasi berarti pencampuran dua budaya tetapi tidak menghilangkan budaya aslinya. Suku Bajo yang berada di Bone, wilayah yang cenderung didiami oleh Suku Bugis, mengalami akulturasi satu sama lain. Mudahnya penerimaan Suku Bajo terhadap kebudayaan Bugis membuat keduanya dapat hidup berdampingan.
“Masyarakat Bajo bukanlah masyarakat yang menonjol atau mau mendominasi, tetapi mereka adalah masyarakat yang sangat adaptif dengan kebudayaan lokal dimana ia berada,” kata Fathu kepada identitas, Kamis (18/10).
Salah satu bentuk kehidupan berdampingan di antara mereka adalah saling mempengaruhi dalam hal kawin-mawin. Suku Bugis umumnya menikahi perempuan Bajo, namun hal sebaliknya jarang terjadi.
Selain dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya, eksistensi kebudayaan Suku Bajo juga dipengaruhi oleh teknologi modern. Paparan teknologi juga mengakibatkan kebudayaan suku bajo mengalami akulturasi dengan budaya lain selain Bugis.
“Jadi suku bajo tidak menutup diri dengan perkembangan teknologi, meskipun penerimaan mereka tidak semarak dengan orang-orang diluar komunitas mereka,“ tutur Fathu.
Pelestarian budaya ala Suku Bajo
Hampir semua aktivitas suku Bajo dilakukan di Laut, mulai dari upacara kelahiran, menikah, hingga meninggal dan dikubur di laut. Laut bagi Suku Bajo bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga merupakan bagian penting dari identitas mereka.
Keterampilan mereka dalam memahami dan mengelola sumber daya laut menjadi kunci keberlangsungan hidup. Oleh karena itu, suku ini sangat menjaga dan melindungi alam, terutama laut.
“Suku Bajo sangat peduli terhadap lingkungan, bahkan tidak membiarkan setetes minyak pun jatuh ke laut, karena menjaga laut berarti menjaga sumber penghidupan mereka,“ ungkap Fathu.
Orang Bajo telah menjalani kehidupan sebagai nelayan dan pelaut yang terampil selama berabad-abad. Mereka dikenal sebagai pekerja ulet yang mengandalkan hasil tangkapan laut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Meskipun terpengaruh oleh kebudayaan lain, suku Bajo tetap mempertahankan kebudayaan aslinya dalam berbagai aspek, seperti agama (kepercayaan), bahasa, sistem ekonomi, seni, ilmu pengetahuan, sistem organisasi sosial, dan sistem peralatan hidup. Misalnya, masyarakat Bajo masih menggunakan bahasa Bajo meskipun anak-anak mereka mulai mengenal bahasa lain.
Praktik keagamaan seperti membaca mantra dan kepercayaan terhadap roh jahat, tetap kental diiringi dengan praktik agama Islam. Suku Bajo juga masih mempertahankan sistem sosial yang dikenal dengan istilah Sama atau Mola yang menempatkan semua orang pada derajat yang sama.
Alat penangkap ikan yang disebut Bubu juga tetap diwariskan ke generasi berikutnya. Sistem ekonomi utama mereka tetap sebagai nelayan, dan tradisi kesenian, seperti memanggil lumba-lumba dengan puisi atau lagu juga masih dilestarikan.
“Suku bajo bisa mempertahankan kebudayaan aslinya dalam waktu yang lama. Karena salah satu yang menandakan sebuah masyarakat dapat mempertahankan budayanya adalah mereka bisa menjaga praktik budayanya dari waktu ke waktu dan secara turun-temurun, baik diajarkan langsung kepada generasi seterusnya maupun secara tidak langsung,” ujarnya.
Meskipun terpengaruh oleh teknologi, suku Bajo tetap mampu menjaga tradisi. Mereka sangat menghargai warisan budaya leluhur dan saling berinteraksi dengan suku Bajo dari daerah lain.
Laut bagi mereka bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga jiwa mereka. Mereka sulit untuk terpisah dari laut yang menjadi identitas mereka. Di semua lokasi, baik di Sulawesi, maupun di daerah lain, suku ini tetap dikenali sebagai “orang laut” yang merayakan kehidupan di tengah samudera.
Selama penelitian berlangsung, Fathu mengaku tak mendapatkan banyak kendala selain bahasa. Ia mengakui bahwa tak banyak orang Bajo yang mampu berbahasa Indonesia, sehingga untuk melakukan wawancara dan komunikasi dengan mereka, tim peneliti memerlukan penerjemah.
Ia juga berharap bahwa penelitian yang digarapnya ini bisa lebih dikembangkan lagi ke depannya. “Bisa jadi masyarakat Bajo ini bisa berkembang dengan cepat namun tidak ada pembanding, sehingga mereka tidak terdorong. Atau mereka memang teguh berpegang pada warisan budaya yang mereka terima,” pungkasnya.
Rika sartika