Seni berarti suatu aktivitas kreatif yang berasal dari dalam diri manusia. Dalam kekuatannya, seni menyimpan hal magis untuk saling terhubung satu sama lain, menghapus sekat, hingga menciptakan ruang bagi suara-suara hening yang bahkan tak terjangkau oleh orang biasa.
Pada dasarnya, seni bersifat inklusif yang artinya dapat dinikmati oleh semua kalangan. Hal inilah yang kemudian menimbulkan inisiatif bagi pegiat-pegiat seni untuk memberi wadah ekspresi kepada para pencintanya.
Senada dengan hal tersebut, muncul pemikiran oleh para seniman di kota Makassar untuk merealisasikan kesadaran itu. Mereka adalah dua seniman dengar bernama Ekhy dan Chikie, lalu dua seniman tuli bernama Bambang dan Fitrah.
Berawal dari keinginan untuk mengembangkan kesenian, hadirlah sebuah perkumpulan yang diprakarsai oleh keempat seniman tersebut. Komunitas itu dinamakan Komunitas Seni 4 Titik (Ks4titik), sebagai tempat berekspresi dan berkembang oleh para teman disabilitas.
Ks4titik resmi didirikan pada tanggal 9 Juni 2018. Pada saat itu, mereka turut berunding untuk menentukan siapa pemimpin yang akan menjalankan roda kegiatan ke depannya.
Keempatnya kemudian sepakat bahwa ketua dalam komunitas seni empat titik haruslah dari teman tuli. Hasil dari kesepakatan mereka terpilihlah Bambang sebagai ketua komunitas kala itu, Ekhy sebagai pelatih, Chikie sebagai admin dan Fitrah sebagai kolaborator anggota.
Uniknya, komunitas ini dinamakan Komunitas Seni 4 Titik karena adanya pemaknaan unsur di dalam tubuh manusia. Unsur tersebut adalah api, air, angin dan udara yang saling melengkapi dalam kaitan tradisi dan filosofi.
“Ks4titik tercipta karena adanya kesamaan visi, misi, tujuan, minat, dan kegemaran setiap individu yang berkesenian. Kemudian diwujudkan dalam suatu wadah dan kesamaan sikap untuk melahirkan kesejahteraan yang memang layak ditempati,” ujar Ketua Ks4titik saat ini, Fitrah Ramadan, Senin (29/7).
Dari segi pelaksanaan kegiatan, Ks4titik sederhananya rutin berkolaborasi dalam lingkup sosial bersama dengan komunitas seni dan literasi lainnya. Ks4titik turut bekerja sama dengan seniman-seniman lokal, seperti berlatih paduan suara dengan menggunakan bahasa isyarat.
Tak hanya itu, Ks4titik pernah mengadakan pantomim dan musikalisasi puisi dengan menggunakan bahasa isyarat. Kegiatan ini berdampak besar bagi teman tuli karena sangat memberi ruang lebar untuk mengembangkan dirinya. Melalui hal ini, para teman tuli berpeluang untuk memaksimalkan bakat tanpa ada batasan untuk berkesenian.
Disinilah seni pengelolaan diri bekerja, yaitu mengetahui betapa pentingnya makna suatu kesejahteraan yang didukung oleh lingkungan sosial yang positif.
Hal ini dibuktikan dengan salah satu proyek yang dikerjakan Ks4titik dua tahun silam. Proyek ini bernama Resilience, sebuah proyek eksperimental yang bertujuan untuk memproyeksikan pendekatan seni terhadap kelompok-kelompok rentan pengolahan diri pasca trauma.
Pada kegiatan ini dilakukan proses kreatif pengkaryaan seni melalui 2 tahap, yaitu tahap mengolah emosi yang berkolaborasi dengan praktisi psikologi dari Lembaga Psikomorfosa. Lalu ada tahap eksplorasi rasa yang berkolaborasi dengan seniman Abdi Karya yang saat itu berlokasi di Riwanua. Proyek ini dilaksanakan selama 3 bulan dan dikerjakan oleh kawan-kawan perempuan di Ks4titik secara kolektif.
Kegiatan-kegiatan seni yang dilakukan Ks4titik ini sungguh menggugah Fitrah. Antusias yang dimiliki oleh anggota di Ks4titik dalam berkesenian menjadi momen paling berharga yang patut ia banggakan.
“Hadirnya Ks4titik di dunia kesenian akan mengguncang pandangan kebanyakan orang, yang merasa bahwa teman tuli tidak bisa berkegiatan dan adanya stigma yang terjadi di lingkungan. Saya jadikan seni itu untuk dihormati,” tuturnya.
Ks4titik mengadopsi rasa inklusif dengan memberikan kesempatan kepada teman dengar untuk turut bergabung. Adapun syarat yang perlu dipenuhi yakni fasih berbahasa isyarat dan mengenal budaya tuli. Setiap calon anggota harus memiliki semangat, kreativitas, kejujuran, integritas dan utamanya memiliki jiwa seni.
Ibarat jalan tak selalu mulus, Ks4titik dalam tantangannya terkadang sulit untuk berkomunikasi ketika mengadakan kegiatan. Misalnya pada pementasan, perlu penyesuaian terkait penyediaan aksesibilitas bagi teman tuli di Ks4titik. Namun, Fitrah melihat kesadaran masyarakat awam terhadap teman tuli bisa dibilang baik pada prosesnya.
Hanya saja, menurut Fitrah kesadaran tersebut perlu ditingkatkan lagi. Masih banyak masyarakat awam yang kurang mengenal preferensi istilah identitas panggilan tuli. Penyebabnya, masih banyak masyarakat awam memanggil teman tuli sebagai tunarungu, tunawicara, bisu, dan pepe.
Dengan adanya komunitas seni yang merangkul para teman disabilitas, hal ini tentu diharapkan ada jaminan aksesibilitas bagi mereka. Baik itu di mana mereka tinggal, mendapatkan informasi, hingga pendidikan yang layak.
“Harapan saya dengan hadirnya komunitas ini dapat memberikan banyak tempat untuk teman-teman, baik itu tuli maupun dengar supaya dapat menciptakan sebuah karya yang setara dan tidak tertinggal pada diskriminasi di sekitar,” tutup Fitrah.
Nabila Rifqah Awaluddin