Pada tanggal 12 Juli 2025, Presiden Republik Indonesia (RI) secara resmi meluncurkan 80.000 koperasi desa dengan nama Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, tepat pada Hari Koperasi Nasional.
Dilansir dari laman merahputih.kop.id, inisiatif tersebut lahir dari dorongan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa.
Lantas, seperti apa implementasi dan regulasi ini bisa memperkuat ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui koperasi? Simak wawancara Reporter identitas, Siti Mutia Achmad, bersama dengan Dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin (Unhas), Rizal Pauzi SSos MSi, Kamis (06/11).
Bagaimana posisi Koperasi Merah Putih sebagai instrumen kebijakan pemerintah dalam memperkuat ekonomi kerakyatan?
Kalau berbicara terkait dasar ekonomi, hal tersebut memang dijabarkan pada pasal 33 undang-undang dasar (UUD) 1945 yang menjelaskan bahwa ekonomi kita disusun oleh asas kekeluargaan. Kekeluargaan yang dimaksud di sini adalah koperasi.
Kalau kita merujuk pada banyak pengalaman bangsa, koperasi dan UMKM lah yang membuat ekonomi kita tidak benar-benar anjlok, terutama pada krisis 1998. Selain itu, dalam pemikiran Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta, sistem ekonomi Indonesia idealnya dibangun di atas prinsip koperasi dan berlandaskan asas kekeluargaan.
Apakah kebijakan pembentukan 80.000 koperasi dinilai sebagai langkah strategis dan progresi?
Kalau berbicara soal aspek kebijakan, kita harus memetakan terlebih dahulu bagaimana kesiapan masyarakat untuk membentuk 80.000 koperasi desa/kelurahan.
Memang secara konseptual ini merupakan langkah strategis, tetapi di sisi lain, terutama saat implementasi, hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai langkah yang strategis.
Sebab, dalam kebijakan publik, langkah ini seharusnya diselenggarakan secara bertahap. Diperlukan agenda setting, formulasi, implementasi, dan evaluasi.
Jadi, menurut saya, koperasi desa ini konsepnya bagus dan kebijakannya ideal. Akan tetapi, peran operasionalnya lemah.
Seharusnya, koperasi ini tidak diratakan dalam 80.000 Desa/Kelurahan, melainkan perlu klasifikasi desa/kelurahan mana saja yang sudah mampu menerapkannya.
Dari perspektif kebijakan publik, sejauh mana program ini mendukung agenda ketahanan pangan nasional dan kemandirian ekonomi desa?
Kalau ingin mencapai ketahanan pangan dan kemandirian desa, hal pertama yang harus didahului yaitu terkait pengembangan kapasitas. Kalau kapasitasnya sudah bagus, maka yakin dan percaya program ini akan berhasil.
Salah satu riset saya di Mamuju Tengah mengenai penyusunan roadmap Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) membahas upaya menyelaraskan peran BUMDes, Koperasi Merah Putih, dan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dalam skema ini, BUMDes membina para petani serta mengelola proses produksi hingga pengemasan, Koperasi Merah Putih berperan sebagai penampung sekaligus distributor, sedangkan MBG menjadi pihak yang menyerap produk sebagai konsumen.
Jika terbangun dengan baik, sistem ini tentu akan menciptakan kemandirian desa dan ketahanan pangan. Oleh karena itu koperasi desa/kelurahan harus disertai dengan edukasi terkait koperasi yang komprehensif.
Jadi, tidak hanya sekadar membentuk institusi, lembaga, dan bisnisnya saja, tetapi juga turut mengembangan kapasitas masyarakatnya.
Bagaimana sebenarnya kesiapan desa untuk menerima dan mengelola program sebesar ini?
Menurut saya, kapasitas masyarakat desa menjadi tantangan terbesar. Kita sebenarnya sudah memiliki klasifikasi desa, seperti mandiri, maju, dan berkembang yang secara konseptual, indikator-indikator tersebut sangat menentukan kemampuan suatu desa dalam mengelola dan menjalankan programnya.
Idealnya, Instruksi Presiden (Inpres) yang menjadi landasan Koperasi Merah Putih ini, harus memuat sebuah aturan terkait perlakuan khusus terhadap desa-desa berkembang. Misalnya, terdapat pendampingan khusus, ada akselerasi, dan lain sebagainya.
Sehingga kapasitas yang terbatas itu, dapat dipercepat dan bisa diakselerasi kemampuan pengelolaan koperasi desa/kelurahannya.
Seperti apa mekanisme pengawasan atau audit publik agar koperasi ini tetap berjalan dengan akuntabel dan transparan?
Koperasi Merah Putih didorong untuk berbadan hukum agar dapat menjadi badan publik. Dengan demikian Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) dapat melakukan audit.
Program ini juga perlu menggandeng Himpunan Bank Milik Indonesia (Himbara) yang tentunya memiliki mekanisme pengawasan tersendiri.
Di sisi lain, jika aparat dan pengurus desa tidak mampu mengelola koperasi desa/kelurahan dengan baik, maka hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap keberlangsungan operasionalnya.
Bagaimana risiko policy failure jika kebijakan ini dikebut tanpa kesiapan infrastruktur kelembagaan yang memadai di desa?
Untuk menjalankan program ini tentu butuh pendekatan yang bertahap. Sebelum melakukan realisasi pemberian pinjaman dan penyertaan modal, kita berharap agar pemerintah melakukan kajian rencana bisnis yang jelas terlebih dahulu guna meminimalkan risiko yang ada.
Jadi, tidak hanya dari konten kebijakannya saja, tetapi juga diperlukan kajian serta relevansi lebih lanjut dengan kondisi masyarakat terhadap regulasi tersebut.
Selain itu, pemerintah harus menerbitkan tahapan-tahapan serta klasifikasinya guna mencegah kerugian. Misalnya, untuk kategori desa mandiri dan maju punya program tersendiri dan desa dalam tahap berkembang juga punya programnya tersendiri.
Bagaimana pandangan manajemen risiko kebijakan melihat peluang kegagalan koperasi di tahap implementasi?
Risiko terbesar dari program ini tentunya pada kerugian negara. Sebab, jika tiba-tiba penyertaan dan pemberian modal tanpa adanya perencanaan yang matang, akan berpulang lebih besar untuk menyebabkan kerugian.
Menurut saya, hal yang perlu dipetakan adalah potensi persoalan hukum yang dapat menimpa para pengelola, karena koperasi ini dijalankan langsung oleh masyarakat. Secara pribadi, mereka bisa saja menghadapi proses hukum dan berakhir dipidana.
Namun secara publik, kasus seperti ini berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Koperasi Merah Putih.
Langkah apa yang perlu dilakukan pemerintah agar Koperasi Merah Putih berkembang menjadi penggerak ekonomi desa yang berkelanjutan?
Menurut saya, pemerintah harus diperkuat dan mendorong kebijakan yang sifatnya operasional hingga level teknis. Selain itu, diperlukan skema pendampingan dengan menggunakan cluster data, seperti klasifikasi desa mandiri, maju, dan berkembang.
Pemerintah juga harus mendorong adanya kajian risiko untuk setiap jenis usaha penggunaan anggaran atau peminjaman di Koperasi Merah Putih dan pendampingan yang berkelanjutan.
Jadi, dengan adanya rekrutmen terkait pendamping koperasi desa/kelurahan, proses pembekalan betul-betul perlu dibekali, tidak hanya saat monitoring saja, tetapi juga pada perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi secara berkala.
Edukasi terkait masyarakat juga diperlukan, baik itu terkait konsep maupun proses manajemen koperasi karena kepercayaan publik merupakan hal terpeting yang bisa dibangun dengan akuntabilitas dan testimoni dari tokoh-tokoh masyarakat.
Terakhir, menurut saya hal yang paling penting itu penerapan reward dan punishment. Pemerintah perlu menyiapkan penghargaan bagi pengelola yang berprestasi, serta sanksi bagi yang bermasalah.
Namun, sanksi tersebut tidak bisa disamakan dengan kasus umum, harus ada pendampingan dan pemeriksaan menyeluruh untuk memastikan apakah kerugian negara terjadi karena kesengajaan atau karena kesalahan mekanisme.
Informasi Narasumber:
Rizal Pausi SSos MSi
Riwayat Pendidikan:
S1 Administrasi Publik, Universitas Hasanuddin
S2 Administrasi Publik, Universitas Hasanuddin
Penulis: Siti Mutia Achmad
