Civitas akademika Unhas dapat menyampaikan aspirasi dengan beragam cara. Salah satunya melalui kotak saran yang tersebar di setiap fakultas. Sayangnya, metode ini tampak kurang efektif.
Ketika hari kuliah, Tri Putra selalu berjalan seraya mengamati dari satu dinding ke dinding lainnya di Fakultas Pertanian Unhas. Saat itu pula, ia melihat benda berbentuk kotak dengan ukuran sekitar 30 cm x 20 cm menempel di tembok. Di bagian atas ada lubang kecil yang siap sedia dimasukkan surat berisi saran atau kritikan.
Benda itu bernama kotak saran. Namun, sekadar nama. Tri tidak pernah melihat barang itu terisi dengan amplop. Amplop yang dapat dibayangkan berisi secarik kertas tertulis kumpulan kata-kata saran atau kritikan terhadap kampus.
“Barang itu hanya hadir dan seperti dipermainkan dengan isinya yang terkadang bukan surat namun uang,” kata mahasiswa angkatan 2013 ini, Kamis (23/7).
Tri mengatakan, keberadaan kotak saran sebagai wadah menyampaikan aspirasi para civitas akademika kurang efektif. Ia menganggap, mahasiswa lebih memilih menyampaikan gagasannya lewat dialog akademik.
“Jika melalui dialog secara langsung saja masih selalu diabaikan, apalagi kotak saran yang tidak ada kejelasan tanggapannya,” lanjutnya.
Pernyataan Tri dibenarkan oleh mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Nova. Menurutnya, bila mahasiswa perlu mengkritisi kebijakan kampus biasanya tersampaikan di kegiatan diskusi yang diinisiasi oleh himpunan atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
“Kotak saran kadang dianggap hanya sebagai pajangan. Tidak pernah saya melihat ada orang yang berniat memasukkan surat,” kata Nova, Kamis (23/7).
Selain dianggap kurang penting, mahasiswa juga masih mempertanyakan fungsi dan cara kerja kotak saran ini. Bila ada surat masuk, bagaimana langkah selanjutnya? siapa yang akan menanggapi? dan beragam pertanyaan lain muncul dalam pikiran civitas akademika.
Rasa penasaran yang belum kunjung terjawab itu nyatanya disebabkan kurangnya sosialisasi pihak birokrasi. “Fungsional dari kotak saran juga tidak diketahui dan feedback yang tidak jelas. Hal ini mempengaruhi kurangnya minat mahasiswa untuk mengisi kotak saran,” kata mahasiswa mahasiswa Fakultas Kedokteran, Erlangga.
Setali tiga uang dengan Erlangga, Rennisa juga mengaku tidak pernah mendapat sosialisasi tentang kotak saran di fakultasnya, Ilmu Budaya. Namun, mahasiswa angkatan 2013 ini berharap civitas akademika lebih inisiatif memanfaatkan fasilitas ini untuk membenahi kampus.
Di lain sisi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Prof Akin Duli menanggapi, tidak perlu sosialisasi untuk menjelaskan fungsi kotak saran. Seluruh civitas akademika, lanjut Akin Duli, sudah mengetahui bahwa itu bentuk pelayan publik terkait sesuatu yang perlu diperbaiki.
Adapun, soal metode kerjanya, Dekan Fakultas Pertanian, Prof Baharuddin menjelaskan, pihak fakultas akan segera menanggapi saran yang masuk dalam kotak saran. Meski, ada beberapa kasus yang butuh waktu. Pendanaan misalnya yang harus menunggu jadwal pencairan.
Dr Eng Amiruddin S Si MSi menambahkan, biasanya saran yang masuk selanjutkan akan dibahas pada Temu Civitas Akademik (TCA) pada tiap semester. Pertemuan ini turut hadir mahasiswa, dosen, dan pimpinan fakultas.
Pengadaan kotak saran di setiap fakultas memang mengacu pada Standard Operating Procedure (SOP). Tepatnya ISO 9001:2015 klausul 5.1. tentang fokus kepada pelanggan.
Dalam regulasi menyebutkan: (b) Resiko dan peluang yang mempengaruhi kesesuaian produk dan layanan dan kemampuan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan ditetapkan dan diperhatikan, (d) Fokus untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dipelihara.
Berdasarkan aturan itu, upaya meningkatkan kepuasan pelanggan yaitu mengetahui keinginan mereka. Salah satu caranya, menulis aspirasi dalam secarik kertas dan memasukkannya ke dalam kotak saran.
Penulis: M07