Krisis iklim telah menjadi isu yang sangat serius. Sebagai dampaknya, berbagai potensi bencana sosial semakin mengancam di kemudian hari.
Data terbaru yang dikeluarkan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) pada Juli 2024 memperlihatkan kondisi yang semakin memprihatinkan. Suhu udara terus meningkat hingga 1,21 derajat Celcius di atas suhu rata-rata global dalam 100 tahun terakhir.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, sebab ambang batas yang ditentukan dalam perjanjian Paris 2015, yakni 1,5 derajat celcius. Cukup dekat dari titik kritis tersebut.
Berbagai dampak ekologis tak dapat dihindari sebagai akibat dari krisis iklim. Meningkatnya bencana alam, seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan adalah hal yang banyak kita saksikan belakangan ini.
Namun tidak hanya itu, krisis iklim juga dapat memicu ketegangan antarpihak. Beberapa pakar telah memprediksi adanya peningkatan konflik global di masa yang akan datang akibat krisis iklim. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Memicu Perebutan Sumber Daya
Krisis iklim pada dasarnya memiliki korelasi yang sangat kuat dengan isu konflik. Namun meskipun berkaitan, keduanya tak berdampak secara langsung. Perubahan iklim yang mempengaruhi konflik tak seperti dampak ekologis lainnya. Ada proses di balik semua itu.
Krisis iklim dapat memicu dampak ekologis seperti kekeringan atau bencana alam lainnya yang berujung pada kurangnya sumber daya. Minimnya sumber daya kemudian menimbulkan berbagai dampak sosial, mulai dari kemiskinan, dorongan untuk migrasi, hingga konflik.
Begitulah runut bagaimana krisis iklim bisa berdampak terhadap ekologi yang kemudian berefek pada dampak sosial kemasyarakatan. Masalah iklim telah menjadi katalisator atas konflik itu sendiri.
Salah satu contoh menonjol yang dapat kita lihat dalam kasus ini adalah Suriah. Tak banyak yang tahu bahwa konflik Suriah, yang sudah berlangsung sejak 2011, bermula dari masalah lingkungan. Tepatnya pada 2006-2010, wilayah Timur Laut Suriah, yang dikenal sebagai lumbung pangan negara itu, mengalami kekeringan parah. Pakar menilai bahwa kondisi tersebut menjadi yang paling kering dalam 900 tahun terakhir. Petani dan peternak tak dapat bertahan menghadapi kekeringan. Sebanyak hampir 85 persen ternak mati dan 75 persen keluarga petani mengalami kegagalan panen.
Kondisi ini berdampak terhadap gelombang migrasi besar-besaran ke wilayah kota. Meningkatnya jumlah migran menuju kota lantas membebani infrastruktur perkotaan dan layanan dasar, serta meningkatkan pengangguran. Hal ini memicu pergolakan ekonomi Suriah. Ketidakpuasan kemudian mendorong rakyat untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Bassar Al-Assad. Mereka melakukan protes damai anti pemerintah dengan menyuarakan keluhan ekonomi.
Situasi semakin tidak kondusif, sehingga pemerintah turun tangan. Tak disangka, aksi protes ini membuncah menjadi perang saudara. Di kemudian hari, perang ini meluas menjadi konflik regional. Kondisi yang semakin tak terkendali mengundang intervensi dari aktor milisi lokal dan regional, hingga campur tangan negara asing di kawasan, bahkan Amerika Serikat. Kondisi ini membuat Suriah mengalami ketidakstabilan sosial, ekonomi, dan politik selama lebih dari satu dekade terakhir. Karena itu pula, Suriah bahkan disebut sebagai salah satu negara dengan krisis kemanusiaan terparah di dunia.
Apa yang terjadi di Suriah adalah skenario bagaimana dampak dari krisis iklim yang terjadi secara lokal bisa berdampak menjadi sebuah konflik global yang melibatkan banyak aktor.
Kondisi Suriah hanyalah satu di antara sekian banyak konflik yang dipicu oleh isu iklim. Di wilayah Sahel, Afrika, konflik akibat perebutan sumber daya air akibat kekeringan juga masih terjadi hingga saat ini. Sungai yang mengering membuat para petani dan penggembala dari etnis Fulani di Nigeria harus berebut wilayah untuk kelangsungan hidup mereka.
Perebutan sumber daya adalah inti dari bagaimana krisis iklim berubah menjadi sebuah konflik. Kendatipun beberapa orang menilai bahwa saat ini, perang tak lagi didasarkan pada perebutan sumber daya, tetapi di banyak kawasan lain situasi tersebut masih terjadi.
Geoff Hiscock dalam bukunya berjudul Earth Wars: The Battle for Global Resources membenarkan hal tersebut. Menurutnya, di abad ke-21 ini, perebutan sumber daya, entah itu air, minyak, dan beragam hal lainnya, masih menjadi faktor determinan utama terjadinya konflik.
Hal serupa juga disampaikan oleh Prof Balaji Rajagopalan, seorang pakar hidrologi dari Amerika Serikat, saat saya wawancarai pada Juli 2023 lalu. Baginya, beberapa negara dapat berperang hanya karena permasalahan air yang dipicu oleh krisis iklim yang semakin parah. Krisis iklim pada akhirnya menjadikan perebutan sumber daya alam tersebut dapat lebih cepat terjadi.
Kondisi Masa Depan
Dari kasus di atas, masa depan agaknya lebih mudah diprediksi. Dengan kondisi yang hampir serupa, yakni suhu bumi yang terus meningkat, konflik di masa yang akan datang tak dapat dihindari. Bahkan bisa saja jauh lebih besar dari apa yang terjadi belakangan ini.
Banyak di antara konflik saat ini terjadi dalam skala regional. Di masa depan, perebutan sumber daya bisa semakin lebih masif terjadi dalam skala yang lebih luas. Situasi ini mau tidak mau akan kita hadapi yang tentu saja dapat memicu konflik global.
Sehingga dengan demikian, upaya individu hingga pemerintah negara harus bahu membahu dalam mengatasi tantangan krisis iklim ini. Soal krisis iklim, seharusnya tidak ada tawar menawar. Suhu bumi harus ditekan untuk meminimalisir dampak ekologis dan sosial yang dapat meluas lebih jauh. Ini tak lain untuk kita saat ini, dan generasi yang akan datang.
Zidan Patrio
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik 2020
Sekaligus Koordinator Liputan PK identitas Unhas 2024