Perkembangan ilmu pengetahuan mendorong sumber-sumber pengetahuan seperti buku menjadi amat penting. International Standard Book Number (ISBN) menjadi kunci dalam mengidentifikasi buku secara unik. ISBN, yang terdiri dari 13 digit, diterbitkan oleh Badan Internasional ISBN di London. Sementara di Indonesia dikelola oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI).
Pada 2018, Perpusnas diberi satu juta kode ISBN. Namun, pada masa pandemi Covid-19 di tahun 2020, terjadi lonjakan penerbitan buku dengan ISBN yang tidak wajar, yakni mencapai 208.191 buku.
Pada 2023, jumlahnya melonjak menjadi 728.389. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya krisis ISBN di Indonesia. Saat ini, diketahui hanya tersisa 270.000 nomor ISBN. Tentu saja, ini menjadi masalah dalam dunia penerbitan buku.
Lalu, bagaimana Indonesia menghadapi krisis ISBN ini? Berikut wawancara khusus reporter PK identitas Unhas, Zakia Safitri Sijaya bersama Kepala UPT Unhas Press, Dr Alem Febri Sonni SSos Msi, Senin (05/02).
Bagaimana urgensi pemberian ISBN pada suatu buku?
Jadi ISBN ini mendata buku secara global. Sehingga semua buku memiliki identitas. Kenapa harus ada identitas buku? Karena bisa jadi ada buku yang berbeda isinya tetapi judulnya sama.
Yang membuatnya menjadi beda dan unik pastinya adalah ISBN. Kemudian, ISBN juga menjadi penanda bahwa sebuah naskah itu sudah melalui proses penerbitan dengan melalui beberapa tahapan, ada proses editing naskah, dan proses editing substansi.
Apakah idealnya suatu buku punya ISBN?
Secara teknis tidak lagi, tergantung dari kebutuhan dari penulis dan bagaimana buku itu memenuhi substansi pasar. Kalau kita berbicara ISBN, saat ini ISBN bukan satu-satunya proses identifikasi dari semua naskah. Ada International Standard Serial Number (ISSN) berisi naskah yang diterbitkan secara berkala, kemudian sekarang dalam konteks penulisan ilmiah ada namanya Digital Object Identifier (DOI).
Jadi ISBN sebenarnya bukan satu-satunya pilihan untuk membuat naskah itu teridentifikasi. Lalu apakah ISBN itu masih penting? Jelas, karena di undang-undang perbukuan di Indonesia masih diatur buku yang beredar harus memiliki ISBN sebagai bukti identifikasi penerbit. Dan buku itu sudah melalui verifikasi-verifikasi yang bertahap untuk bisa didesiminasikan ke publik melalui toko buku maupun secara online.
Alokasi ISBN di setiap negara hanya 1 juta setiap 10 tahun. Namun, di Indonesia dalam 5 tahun telah menerbitkan 728.839. Apa dampak dari masifnya pemberian ISBN ini?
Pada 2023, Perpusnas RI melakukan proses pengetatan ISBN. Di tahun sebelumnya, untuk mendapatkan ISBN cukup dengan hanya mengirimkan atau melampirkan sampul kemudian kata pengantar, daftar isi, dan referensi dari sebuah buku. Tetapi sejak tahun 2023 awal, itu sudah berubah secara regulasi bahwa semua ISBN yang keluar itu harus dikirimkan full manuscript. Jadi isinya juga harus dikirimkan dan diperlihatkan kepada Perpusnas. Kemudian Perpusnas akan memverifikasi terhadap naskah itu dan barulah diberikan ISBN.
Dalam konteks itu kemudian memang Indonesia sebetulnya terjadi kebobolan ISBN sebelum tahun 2023. Banyak naskah yang diberikan ISBN tetapi naskahnya tidak terpublikasi karena tidak diproduksi. Itu bisa jadi karena ada beberapa naskah buku pelajaran di bangku sekolah yang telah diberikan ISBN, tetapi kemudian tidak diproduksi karena terjadi perubahan kurikulum. Jadi banyak aspek. Sehingga, pengetatan terhadap ISBN dari Perpusnas itu menjadi maklum.
Apakah Perpusnas memiliki standar buku yang perlu diberikan ISBN?
Pastinya ada. Jadi karena pengetatan tahun 2023 itu, banyak hal yang sekarang diatur. Salah satunya kumpulan-kumpulan tugas mahasiswa yang biasa dipublikasikan Itu tidak boleh lagi ber-ISBN karena secara teknis buku itu hanya peruntukan internal.
Kemudian beberapa modul dari laboratorium yang ada, dari pembelajaran-pembelajaran yang ada sekarang sudah tidak boleh lagi diajukan ISBN karena dianggap tidak untuk dipublikasikan untuk publik. Prosiding dari hasil-hasil seminar atau konferensi sekarang juga sudah tidak boleh lagi. Itu adalah bagian dari proses penghematan.
Apakah buku yang tidak ber-ISBN itu akan kesulitan untuk dikenal secara global?
Dulu iya. Tetapi jika kita masuk ke ranah digital, buku-buku itu sebetulnya sudah sangat mudah untuk diidentifikasi apalagi dengan teknologi informasi yang ada sekarang. Ruang-ruang digital kita sudah sangat mudah untuk membuat naskah kita dikenal dunia Maya. Misalnya ada namanya Search Engine Optimization (SEO) itu kan bagian dari bagaimana proses pencarian data kita bisa dengan mudah didapatkan orang. Jadi bukan lagi satu-satunya ISBN.
Bagaimana harapan Anda ke depannya?
ISBN ini adalah sebuah numbering yang sebetulnya bisa dibuat secara fleksibel. Dia tidak seperti krisis energi atau krisis pangan yang membutuhkan produk.
Terkait Krisis ISBN, saya kira kita bisa melakukan negosiasi dengan pihak pemberi atau yang mengatur ISBN secara internasional. Demikian pula saya berharap, buku-buku yang ada di setiap penerbitan kampus di Indonesia ini bisa menjadi populer di kalangan publik.