Belakang ini, Amerika Serikat dan Iran sangat ramai diperbincangkan. Hubungan kedua negara besar tersebut sedang berada pada titik yang buruk. Hal ini dikarenakan aksi sepihak Washington yang menyerang dan menewaskan panglima paling berpengaruh di Iran, Jenderal Qassim Soleimani. Aksi serangan pesawat tanpa awak di Bandara Baghdad, Iraq, pada Jumat (3/1) lalu telah membawa dampak signifikan, bukan saja bagi hubungan kedua negara, namun juga bagi konstalasi politik dan hubungan internasional.
Menyikapi fenomena ini, Laboratorium Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (HI FISIP Unhas) menggelar diskusi tematik untuk membahas fenomena tersebut, Rabu (8/1). Diskusi ini dihadiri oleh dosen-dosen HI Unhas dan beberapa mahasiswa.
Sekretaris Departemen HI Unhas, Muhammad Ashry Sallatu menjelaskan bahwa diskusi tematik ini bertujuan untuk memahami apa sebenarnya situasi yang terjadi di Timur Tengah, khususnya di Iran.
“Kita menerima banyak sekali serpihan informasi dari media massa. Serpihan-serpihan ini adalah keping-keping puzzle. Lab HI merasa perlu untuk membuat peta gambar besarnya, sehingga kita dapat memahami situasi sebenarnya dan kecenderungan yang akan terjadi pada masa mendatang,” kata Ashry.
Diskusi tematik ini diawali dengan pemaparan pemantik oleh Pusparida Syahdan. Dosen Sistem Politik dan Politik Luar Negeri Amerika ini menjelaskan karakter kepemimpinan di Amerika Serikat, khususnya kebijakan Presiden Donald Trump.
“Donald Trump memiliki tiga visi kepemimpinan sebagai Presiden Amerika, yaitu isolasionis, unilateralis, dan transaksionalis. Sejak menjadi presiden, Trump menganulir hampir seluruh kebijakan presiden sebelumnya, Barrack Obama, yang dikenal multilateralis. Ini termasuk mengubah drastis kebijakan Amerika terhadap Iran. Trump bahkan menarik diri secara sepihak dari perjanjian nuklir Iran yang digagas oleh Obama,” katanya.
Pusprida juga menjelaskan berbagai kejadian sepanjang tahun 2018 dan 2019 yang mendahului peristiwa serangan oleh pesawat tanpa awak terhadap Soleimani. Menurut Pusparida, mencermati kejadian-kejadian ini kita jadinya memahami bahwa Amerika memang tidak pernah sepaham dengan Iran.
“Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa yang menjadi target adalah panglima paling berpengaruh, bukan saja di Iran bahkan juga di beberapa negara teluk? Selain itu, mengapa pemilihan waktunya sekarang?” kata Puspa.
Dosen HI Unhas, Agussalim Burhanuddin, membeberkan beberapa asumsi terkait serangan terhadap Soleimani. Menurutnya, Amerika mengambil langkah sangat berani, bahkan dapat dikatakan di luar batas, yang mengorbankan Soleimani. Bahkan, ada kemungkinan Soleimani merupakan collateral damage, atau korban yang tidak terduga.
“Trump nampaknya memang memerintahkan serangan ini, sebagaimana ia akui, dengan alasan pencegahan. Namun patut diingat, membunuh karena alasan tersebut merupakan tindakan illegal. Dalam situasi demikian, posisi Amerika sangat lemah dalam hukum internasional, sehingga Washington akan memilih respon politik,” kata Agus.
Pandangan lain juga dikemukakan oleh beberapa dosen HI, antara lain Ishaq Rahman, Nur Jannah Abdullah, Seniwati, dan Aswin Baharuddin.
Konflik ini mengubah secara drastis the level of the game dalam hubungan antara Amerika Serikat dan Iran termasuk dengan sekutu-sekutunya masing-masing. Iran memang melakukan pembalasan ofensif yang akan mempersempit ruang dialog. Apalagi parlemen Iran telah secara resmi memutuskan bahwa pembunuhan Qassim Soleimani merupakan tindakan terorisme.
Diskusi ini menyimpulkan bahwa eskalasi konflik Iran dan Amerika yang meningkat akan berdampak pada konflik terbuka yang makin meluas. Namun demikian, kemungkinan terjadinya Perang Dunia Ketiga sebagaimana dikhawatirkan berbagai pihak membutuhkan perkembangan situasi lain. Negara-negara dunia telah mengambil pelajaran bagaimana besarnya kerusakan paska Perang Dunia Pertama dan Kedua.
Dengan keberadaan senjata nuklir dewasa ini, Perang Dunia III dapat dipastikan merupakan Perang Nuklir. Itu berarti akhir dari dunia, hal itu akan dihindari oleh berbagai pemimpin rasional, termasuk di Iran dan Amerika Serikat.
Wandi Janwar