Seorang mahasiswa dengan mengenakan kemeja putih dan celana hitam duduk di pojok ruangan lantai 2 Rektorat Universitas Hasanuddin (Unhas), Rabu (07/02). Ia tak sedang bersiap untuk mengikuti sidang proposal atau skripsi, tetapi ia menantikan pertemuan dengan wakil rektorat untuk membahas nasib dua temannya yang mendekam di balik jeruji besi.
Rere (Sapaan mahasiswa tersebut) nampak tegang. Pasalnya berkas kasus perkara yang telah lengkap atau yang dikenal dengan berkas P21 itu tinggal dilimpahkan ke pengadilan untuk dilakukan sidang.
Dua teman se-fakultas Rere dan empat orang mahasiswa Fakultas Teknik menjadi tersangka dalam kasus penyerangan Sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) pada Desember 2023. Mereka digelandang masuk sel tahanan setelah Unhas melapor kepada pihak kepolisian.
“Awalnya ada 15 nama dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), terus mengecil menjadi enam orang saja,” ungkap mahasiswa Fakultas Pertanian tersebut.
Pada Mei 2023, Rere juga pernah ditahan selama delapan jam di Kepolisian Sektor Tamalanrea karena diduga ikut serta dalam penempelan poster di Rektorat. Ia awalnya dipanggil ke Rektorat, lalu akhirnya digelandang ke Kantor Polisi.
“Saat itu nama saya dan beberapa orang disebut oleh mahasiswa (terduga penempel poster) tersebut, tetapi tanpa bukti apa-apa, cuma nama,” ungkapnya, Rabu (07/02).
Kasus penempelan poster yang terjadi pada 24 Mei 2023, melibatkan seorang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) dengan inisial R. Ia ditangkap oleh Satuan Pengaman (Satpam) Unhas pada dini hari saat memasang poster yang bernada kritik terhadap Rektor Unhas. Pihak Unhas kemudian membawa mahasiswa tersebut ke kantor polisi untuk diinterogasi. R lalu menyebutkan beberapa nama mahasiswa Unhas, termasuk Rere.
Mahasiswa lain pada kasus yang sama, Andi Muhammad Fahrizal menganggap, Unhas saat itu seakan-akan tidak ingin campur tangan, sebab proses interogasi mahasiswa diserahkan kepada pihak kepolisian.
Ia menduga, hal itu dilakukan untuk menakut-nakuti mahasiswa yang lain agar tidak melakukan tindakan yang sama.
Kasus serupa juga pernah terjadi dalam insiden bentrokan antara Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) dan Fakultas Peternakan (Fapet) pada Maret 2023 lalu. Ketua Keluarga Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan (Kemajik) periode 2022-2023, Muh Alif Ramadhan mengatakan, pihak kampus lepas tangan pada kasus teman-temannya yang dipenjara karena terlibat bentrok tersebut.
Menurut Alif, pihak rektorat waktu itu menjanjikan bahwa pemenjaraan yang dilakukan hanya beberapa minggu saja, agar teman-temannya merasakan efek jera.
“Ternyata efek jera yang diberikan malahan mengganggu psikologinya teman-teman (yang dipenjara),” ungkapnya, Jumat (23/02).
Ketua Satuan Tugas Pengawasan dan Ketertiban Kampus, Prof Dr Amir Ilyas SH MH menyatakan, pelibatan polisi hanya dilakukan saat aksi mahasiswa tidak bisa lagi ditangani oleh kampus, seperti perusakan, mengganggu ketertiban, dan keadaan tidak kondusif lainya.
Menurutnya, Polisi bisa digunakan sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir saat pilihan-pilihan lain telah diusahakan sebelumnya
Ilyas memberi contoh kasus penyerangan Sekretariat BEM FMIPA oleh sekelompok mahasiswa. Saat itu, ia dan timnya tidak memiliki cukup informasi untuk melakukan penyelidikan sehingga diputuskan untuk melapor ke pihak kepolisian.
“Jadi harus dipahami bahwa masuknya polisi ini untuk membuat ‘terang’ suatu kasus, bukan tujuannya untuk memenjarakan, tidak ada itu,” ungkapnya, Selasa (27/02).
Lebih lanjut, Pakar Kriminologi tersebut menjelaskan, berbagai kasus yang terjadi akan berdampak pada nama baik universitas sehingga dibutuhkan metode yang dapat memunculkan efek jera.
“Sebenarnya targetnya efek jera dan tidak terulang lagi (pelanggaran berat) yang berulang terus,” pungkas Ilyas saat ditemui di kediamannya.
Ditemui di hari yang sama, Pakar Psikologi Sosial, Dr Ichlas N Afandi SpSi MA menjelaskan, efek jera memang dapat muncul jika seseorang diberikan hukuman. Ia beranggapan, apabila tindakan tersebut didiamkan, akan menghadirkan aksi serupa di kemudian hari.
“Setiap hukuman menargetkan perubahan perilaku seseorang, baik secara langsung ataupun tidak,” ucapnya, Selasa (27/02).
Saat dikonfirmasi, Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof drg Muhammad Ruslin MKes PhD SpBM(K) menjelaskan, Unhas tidak memiliki kewenangan dalam memberikan hukuman bagi pelanggaran yang masuk dalam ranah pidana.
“Jangan kerjakan kalau bukan kita punya kompetensi, nanti salah perlakukan dan konflik kepentingan, kita berhadap menyelesaikan masalah, justru tidak menyelesaikan masalah. Justru memelihara persoalan dan itu semakin besar,” ungkap mantan dekan Fakultas Kedokteran Gigi tersebut.
Pelibatan kepolisian akhir-akhir ini menjadi jalan Unhas dalam menyelesaikan masalah yang melibatkan mahasiswanya. Lantas, muncul pertanyaan, apakah hal tersebut sejalan dengan visi institusi pendidikan tinggi?
Tim Lipsus
*Liputan pertama kali terbit di Majalah identitas Edisi Maret 2024