Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Muhammad Ansar hadir sebagai pemateri dalam diskusi publik “Menguatnya Praktik Otoritarianisme Melalui RUU KUHP”. Kegiatan tersebut diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH) Universitas Hasanuddin (Unhas) bekerja sama LBH Makassar di Taman Pintu Satu Unhas, Senin (28/07).
Dalam kesempatannya, Ansar menjelaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berwatak kolonial karena tidak mengedepankan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Ia mencontohkan dalam rancangan KUHAP pemberian pendampingan hukum kepada terdakwa atau tersangka hanya diberikan ketika ancaman pidananya 5 Tahun keatas.
“Padahal ini menyalahi prinsip HAM, saat yang diberikan bantuan hukum hanya dengan ancaman pidana tertentu, artinya dalam proses penegakan hukum itu ada ketidaksetaraan yang dialami oleh masyarakat,” jelasnya.
Ansar memaparkan setiap orang sama kedudukannya di mata hukum. Ketika penegak hukum hanya memilah-milah siapa yang layak atau tidak, maka potensi pelanggaran hukum bisa semakin terbuka lebar.
“Karena ketika terdakwa atau tersangka yang tidak mendapatkan pendampingan oleh Advokat, maka penyidik bisa melakukan tindakan intimidasi saat pemeriksaan. Celah itu yang sebenarnya harus ditutup dengan selalu memberikan pendampingan kepada para masyarakat,” ujarnya
Menurutnya, penyidik harus memberikan pendampingan kepada para terdakwa atau tersangka. Selain itu, penyidik juga harus menentukan siapa yang layak untuk ditahan secara objektif, tidak hanya mengedepankan objektivitas semata.
Di akhir materinya, Ia menambahkan selama mendampingi masyarakat, LBH Makassar sering menemukan kasus penahanan yang dilakukan secara subjektif.
“Harus ada mekanisme pengujian yang objektif, tidak hanya karena alasan kemendesakan seperti yang tertuang dalam KUHAP yang lama,” pungkasnya.
Syahrial
