Wacana wadah gerak bersama mahasiswa Unhas dalam bingkai Lembaga Mahasiswa tingkat Universitas Hasanuddin (Lema-UH) selalu menarik dibahas di setiap periodenya. Beberapa tahun ini, gerakan mahasiswa Unhas terbelah akibat perbedaan pandangan. Pada 2021 ini diharapkan menjadi momentum adanya kesadaran bersama untuk berada dalam satu gerbong gerakan dalam memperjuangkan keadilan dan meneguhkan idealisme.
Kesadaran untuk duduk bersama dalam Musyawarah Mahasiswa (MM) adalah langkah awal menuju lahirnya wadah gerak bersama. MM yang telah digelar beberapa kali nyatanya belum banyak melahirkan konsensus bersama, namun kesadaran untuk duduk bersama harusnya dilihat sebagai titik terang dalam pergerakan mahasiswa Unhas kedepan.
Tetapi proses mewujudkan Lema Unhas dalam praktiknya terkesan terburu-buru dan dipaksakan. Praktik tersebut tidak lepas dari intervensi faktor eksternal mahasiswa, yakni birokrasi kampus. Adanya Lema Unhas adalah suatu kewajiban bagi universitas yang berstatus PTN-BH. Itu tidak lepas dari adanya perwakilan mahasiswa yang duduk di kursi Majelis Wali Amanat (MWA). Hal ini yang menjadikan birokrasi kampus melakukan segala cara untuk menghadirkan Lema Unhas. Bila hanya sekedar aspek keberadaan Lema Unhas untuk mengirimkan perwakilan ke dalam jajaran MWA menjadi dasar, maka sesungguhnya hanya memenuhi aspek legalitas semata dan tentu mengabaikan kebutuhan mahasiswa.
Hal tersebut juga terlihat dalam MM yang menimbulkan dinamika dan tensi yang meningkat antara lembaga mahasiswa tingkat fakultas. Seperti terpilihnya presiden mahasiswa dianggap mayoritas lembaga mahasiswa fakultas tidak sesuai prinsip dalam kelembagaan mahasiswa lantaran berstatus tertentu, dan hanya memenuhi aspek legalitas. Dalam suatu kelembagaan aspek legalitas tentu tidak cukup kuat dalam membangun organisasi dan pergerakan yang kokoh. Sebab aspek legalitas dapat diubah sesuai kepentingan orang atau kelompok tertentu, maka selain legalitas tentu dibutuhkan hal lain yang selama ini terabaikan dalam membangun wadah maupun gerakan di lingkungan mahasiswa Unhas yakni aspek legitimasi.
Legitimasi adalah bentuk pengakuan yang sah mahasiswa terhadap pemimpin yang akan mewakili dan membawa nama mahasiswa Unhas dalam segala hal. Sedangkan legalitas merupakan sarana untuk memberikan keabsahan terhadap legitimasi yaitu dalam bentuk aturan tertulis. Menurut Kleden, legitimasi berkaitan erat dengan proses sosial, sedangkan legalitas berhubungan dengan aspek hukum. Keberhasilan seeorang menjadi pemimpin tidak saja karena mengikuti aspek legalitas, tetapi mendapatkan legitimasi sosial dalam hal ini mahasiswa. Kepemimpinan yang tidak memenuhi aspek legitimasi sosial sangat mudah terjadi gejolak bahkan pembangkangan dalam tatanan akar rumput terjadi tidak ada kepercayaan terhadap perwakilah mahasiswa.
Prinsip legitimasi dan legalitas harusnya menjadi bahan renungan bagi mahasiswa Unhas kedepan dalam membangun wadah pergerakan. Beberapa lembaga mahasiswa yang menamakan dirinya sebagai Lembaga mahasiswa tingkat Universitas Hasanuddin sesungguhnya tidak sepantasnya mengatasnamakan mahasiswa Unhas dalam hal ini Lema Unhas. Sebab hanya memenuhi aspek legalitas secara aturan namun tidak memenuhi aspek legitimasi dari seluruh mahasiswa Unhas. Maka tidak sepantasnya perwakilan mahasiswa di MWA mengatasnamakan seluruh mahasiswa jika masih ada perpecahan dalam wadah pergerakan mahasiswa. Terlebih ini sikap penghianatan terhadap mahasiswa dan terkesan hanya menguntungkan birokrasi kampus.
Perpecahan mahasiswa Unhas tentu menjadi berita baik bagi birokrasi kampus dan menjadi berita buruk bagi pergerakan mahasiswa. Sejatinya birokrasi kampus hanya butuh satu orang untuk dijadikan perwakilan sebagai salah satu anggota MWA dari perwakilan mahasiswa. Hal tersebut sangatlah mudah dilakukan di saat lembaga mahasiswa dalam keadaan terpecah yaitu hanya mengklaim satu di antara dua atau tiga lembaga yang selama ini mengatasnamakan dirinya Lema Unhas untuk disahkan dan mengirimkan satu orang perwakilannya.
Realitas hari ini, perwakilan mahasiswa Unhas di MWA tidak dapat berbuat apa-apa dan terkesan diam seribu kata dalam memperjuangkan kebutuhan mahasiswa. Isu dan polemik berlalu begitu saja, terbaru tentang rangkap jabatan rektor Unhas, dengan mudah pihak rektorat mengklaim langkah rektor tersebut telah mendapatkan izin dari MWA. Representasi mahasiswa di MWA tidak dapat melakukan apa-apa, entah karena disuruh diam atau karena sengaja mendiamkan diri. Tapi entah apa yang membuat perwakilan mahasiswa tersebut masih betah menjadi tawanan birokrasi kampus, entah karena memanfaatkan kesempatan untuk eksistensi diri atau karena honor dibayarkan lancar setiap bulannya?
Membenarkan dan mengikuti langkah birokrasi kampus seperti itu adalah suatu hal yang telah menginjak nilai intelektualitas dan idealisme sebagai seorang mahasiswa. Maka ke depannya dibutuhkan ruang-ruang intelektual yang mengedepankan dialektika dalam membangun kembali wadah gerak bersama dengan mengutamakan prinsip legitimasi, yaitu melibatkan seluruh elemen mahasiswa dalam mewujudkan gerakan yang progresif. Serta menolak keras intervensi dari pihak eksternal mahasiswa dalam hal ini hantu yang bernama Birokrasi Kampus!
Penulis Muhammad Shidiq, mahasiswa Ilmu Kelautan FIKP,
angkatan 2017