Praktikum merupakan metode pembelajaran yang efektif untuk mengembangkan keterampilan mahasiswa pada mata kuliah tertentu. Kegiatan praktikum yang melibatkan bahan kimia tentunya akan memunculkan sisa-sisa dari penggunaan bahan, khususnya jika berkaitan dengan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Limbah B3 terdiri dari sisa-sisa bahan kimia yang selesai digunakan seperti air bekas cucian peralatan maupun sisa sampel yang diuji. Meskipun limbah praktikum volumenya masih relatif kecil dibandingkan limbah industri, akan tetapi dapat terjadi akumulasi jumlah residu hasil praktikum yang bisa menumpuk. Hal ini akan berakibat membahayakan lingkungan dan makhluk hidup.
Karena mengandung bahan kimia, maka limbah praktikum seharusnya dikelola sebelum dibuang ke lingkungan. Pengelolaan tersebut bisa ditempuh dengan memanfaatkan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Universitas Hasanuddin sebagai salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia memiliki 10 fakultas eksakta dan 4 fakultas non eksakta. Mayoritasnya fakultas eksakta semakin menambah jumlah laboratorium yang ada di Unhas, begitu pun produksi limbah hasil praktikum.
Sudah lama problematika pengolahan limbah praktikum Unhas belum mendapatkan titik terang. Berdasarkan berita identitas 2012, kampus hanya mengelola limbah dengan cara ditanam di dalam tanah. Sehingga dalam beberapa tahun, ada kemungkinan sistem peresapan yang ada sudah jenuh karena bahan kimia tidak dapat diserap dengan baik. Jika dilakukan terus menerus, maka limbah tersebut dapat membahayakan mikroorganisme dalam tanah.
“Kalau tidak diolah, limbah menyerap sampai ke aliran air dalam tanah dan membawa zat-zat kimia berbahaya ke sumber-sumber air masyarakat,” jelas Anwar Daud, Konsultan IPAL Rumah Sakit dan Industri.
Jika menelisik pada panduan Keselamatan dan Keamanan Laboratorium Kimia yang diterbitkan oleh National Research Council of The National Academies, ada beberapa opsi pembuangan limbah bahan kimia yang biasa dilakukan. Salah satunya Insinerasi, yaitu metode pembuangan limbah praktikum yang dilakukan di oven berputar pada suhu tinggi (649-7600C). Teknologi ini sepenuhnya menghancurkan sebagian besar bahan organik secara signifikan.
Untuk memenuhi persyaratan meraih akreditasi, setiap laboratorium mestinya membangun Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL). Namun selama ini, IPAL di kampus merah belum ada sama sekali. Hal ini dijelaskan oleh Kepala Laboratorium Bioteknologi Fakultas Peternakan, Prof Asmuddin Natsir.
“Sebaiknya kita punya pengelolaan sendiri, sampai saat ini kan Unhas belum punya,” ujarnya Asmuddin.
Meski demikian, nyatanya pengelolaan limbah praktikum Unhas belum ditangani secara serius oleh pihak kampus. Berdasarkan Laporan Civitas Unhas edisi November 2021, pengelolaan limbah di Fakultas Farmasi hanya sebatas menampung limbah hasil praktikum di jeriken. Selanjutnya, jeriken yang telah penuh dengan limbah dibawa ke Tempat Penyimpanan Sementara (TPS).
Pada 2016 lalu, Ketua Jurusan Kimia Dr Indah Raya mengatakan Unhas harus memiliki minimal satu IPAL yang letaknya antara FMIPA dan Farmasi. Ia mengungkapkan lingkungan tidak akan ada habisnya jika bukan manusia yang sadar menjaganya. Untuk itu, Unhas sebagai universitas dengan akreditasi unggul perlu mengimbangnya dengan penyediaan fasilitas yang aman bagi civitas akademika, salah satunya dengan penyediaan IPAL di setiap laboratorium.
PK Identitas Unhas kembali menyoroti permasalah limbah praktikum B3 pada 2021 lalu. Dosen Fakultas Farmasi sekaligus pengampu mata kuliah Muhammad Aswad SSi MSi PhD Apt mengatakan selama ini pengelolaan limbah di Fakultas Farmasi hanya sebatas menampung di jeriken dan ketika penuh akan dibawa ke TPS.
Unhas memang tidak memiliki tempat pengolahan limbah sendiri, sehingga limbah tersebut di pihak ketigakan.
“Selama ini memang selalu kendala limbah, Unhas belum memiliki unit pengolahan limbah. Hanya dengan adanya mekanisme pihak ketiga jadinya masalah teratasi,” ujar Aswad, Kamis (28/10).
Banyak hal yang mendasari kelayakan digunakannya laboratorium sebagai tempat pembelajaran. Salah satunya laboratorium harus ditata sedemikian rupa sehingga limbah yang dihasilkan tidak membahayakan mahasiswa dan aman ketika di buang di lingkungan.
Lebih dari itu, aturan mengenai penanganan dan pengolahan limbah praktikum perlu ditanggapi serius oleh pihak kampus demi menjadi menjaga keseimbangan ekosistem kampus dengan berkesinambungan.
Miftahul Janna